MEDAN-Ketua Kehormatan DPD Real Estate Indonesia (REI) Sumatera Utara Tomi Wistan menilai program sejuta rumah, termasuk untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), sulit terwujud karena pemerintah daerah (pemda) tidak melaksanakan percepatan proses perizinan untuk pembangunan perumahan untuk MBR seperti yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan MBR.

Tomi juga menilai Pemda enggan membangun infastruktur penunjang dari dan ke kawasan perumahan MBR.

Namun di mata pengamat senior properti, problem terhambatnya pembangunan sejuta rumah justru ada di PP Nomor 64/2016 itu sendiri.

"Kalau kita kaji, seharusnya PP itu bisa operasional, tapi ternyata tidak bisa operasional, karena pasal-pasal di dalam PP itu sendiri banyak yang kontradiktif dengan undang-undang di atasnya," ujar pengamat senior bidang properti Zulfi Syarif Koto.

Ketua LPP3I (Lembaga Pengkajian Pengembangan Perumahan dan Perkotaan Indonesia) atau Housing Urban Development HUD Institute ini menyebutkan contoh pasal 23 di PP yang menyebutkan pemerintah wajib membentuk Tim Terpadu, dengan tujuan mengatasi berbagai persoalan yang menghambat pembangunan perumahan untuk MBR.

"Persoalannya, Tim Terpadu itu tidak pernah dibentuk hingga saat ini. Padahal ada problem yang harus diatasi," ujar mantan birokrat senior di Kementerian Perumahan Rakyat ini.

Kata Zulfi Syarif Koto, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) mewajibkan penyediaan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi setiap proyek yang menggunakan lahan minimal 5000 meter persegi (M2).

Pembangunan perumahan bagi MBR, kata Zulfi Syarif Koto, justru akan sangat terhambat jika diharuskan membangun AMDAL untuk perumahan MBR dan lalulintas di kawasan perumahan MBR yang menggunakan lahan 5000 m2 atau lebih, Tim Terpadu yang diamanatkan pasal 23 dalam PP Nomor 64/2016, ujar Zulfi Syarif Koto, seharusnya sudah dibentuk untuk memberikan saran mendalam kepada menteri terkait untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada, termasuk keharusan memiliki AMDAL dalam proyek sejuta rumah yang diprediksi membutuhkan lahan lebih dari 5000 m2.

"Kelihatannya yang menyusun PP itu sendiri enggak mengerti fakta lapangan. Kelihatannya disusun sangat tergesa-gesa," kritik Zulfi Syarif Koto.

Ia menyebutkan seharusnya PP itu disusun dengan melihat Indonesia secara utuh, tidak hanya melihat pulau Jawa saja yang membutuhkan sejumlah peraturan lengkap dan keras untuk mengatasi keterbatasan lahan.

"PP itu Terkesan menyamaratakan (daerah-daerah di luar pulau Jawa dengan kondisi pulau Jawa -red)," sindir mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman (Tarukim) Sumatera Utara ini.