JAKARTA - Jabatan bukan segalanya. Mungkin itu yang terbersit di hati Jenderal Tito Karnavian. Sebagai Kapolri, dia tidak besar kepala. Justru dia mengaku, lama-lama menjadi Kapolri membuatnya tambah stres. Jika boleh memilih, Tito mau pensiun dini.

"Hati kecil saya tidak ingin sampai selesai 2022. Tambah stres nanti saya. Saya butuh waktu untuk istri dan anak-anak saya juga," ujar Tito usai peringatan Hari Kelahiran Bhayangkara Ke-71 di Silang Monas, Jakarta, kemarin.

Tito dilantik Presiden Jokowi menjadi Kapolri 13 Juli 2016, sesuai ketentuan dia akan pensiun tahun 2022. Artinya, Tito masih memiliki waktu lima tahun memimpin Polri jika Presiden menghendaki.

Namun, Tito merasa sulit memimpin institusi Polri hingga masa pensiun tiba. Memang, Tito terbilang muda saat ditunjuk menjadi Kapolri, bahkan meloncati lima angkatan di atasnya. Jika bisa memilih, Tito mengaku ingin pensiun dini.

Bukan tanpa sebab Tito mengungkapkan isi hati kecilnya itu. Dia meyakini, jika memimpin Polri hingga lima tahun mendatang, justru akan berdampak buruk bagi instansi Polri dan pribadinya. Baginya, kepolisian butuh penyegaran, regenerasi kepemimpinan.

"Bayangin kalau saya jadi Kapolri terus, enam tahun, tujuh tahun, anggota bosan, organisasi bosan, saya juga bosan," katanya.

Tito curhat kerap menjalani hari yang tidak mudah. Tekanan demi tekanan terus dihadapinya. Terlebih, persoalan dan tanggung jawab korps baju cokelat tidaklah sedikit. Menurut dia, wajar secara manusiawi jika ingin melepas tekanan-tekanan itu.

"Kemungkinan ada waktu yang saya anggap tepat, mungkin akan pensiun dini," ungkapnya.

Tito heran dengan banyaknya komentar atas niatnya untuk pensiun dini. Jika di luar negeri, katanya, keputusan pensiun dini lumrah. Apalagi, jika yang meminta pensiun adalah sosok orang yang bekerja keras dan ingin menikmati sisa hidupnya dengan tenang. "Saya juga berhak menikmati hidup dengan keluarga, dalam kehidupan yang less stressful," ucapnya.

Selain mengungkap isi hatinya yang ingin pensiun dini, Tito juga bercerita tentang mimpinya kelak ketika lepas jabatan Kapolri. Dia ingin berbakti di dunia pendidikan. Baginya, kegiatan berbagi ilmu sebagai pembicara sangat menyenangkan.

Apakah Tito akan berpolitik? Dia menegaskan tidak tertarik berpolitik. Dunia politik sama stresnya dengan menjadi Kapolri. "Di politik banyak tarik menarik, nanti muncul musuh baru, malah nanti tambah stres," pungkasnya.

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane cukup terkejut dengan keinginan Tito mundur sebagai Kapolri. Soalnya, tidak ada indikasi Tito akan diganti Presiden dalam waktu dekat.

"Lagian penggantian Kapolri sekarang tidak mungkin terjadi. Paling cepat pergantian terjadi bersamaan penyusunan kabinet baru dalam pemerintahan baru hasil Pilpres 2019," ujar Neta.

Menurut Neta, alasan Tito mundur demi perbaikan masa depan tubuh Polri kurang tepat. Justru sangat tepat jika Tito menuntaskan masa jabatan hingga tahun 2022. Di waktu yang panjang itu, banyak kesempatan memperbaiki korps baju cokelat.

"Dengan waktu yang panjang, Tito dapat memperbaiki internal Polri secara signifikan dan bisa meletakkan dasar-dasar yang kuat untuk profesionalitas Polri. Penggantinya nanti tinggal meneruskan. Masalahnya, jika Tito hingga 2022 mungkin akan terjadi kejenuhan bagi pribadi Tito," katanya.

IPW juga masih ragu dengan pernyataan Tito yang ingin pensiun muda. Pasalnya, perjalanan Tito sebagai Kapolri belum juga satu tahun, sulit baginya untuk menganalisa bahwa Tito akan meninggalkan posisi Kapolri.

Nah, siapa yang pantas menggantikan Tito andaikata benar pensiun dini? Neta belum bisa menjawab. Dia yakin Presiden belum berkeinginan mengganti Tito dalam waktu dekat. "Kecuali, Presiden meminta Tito masuk ke dalam kabinet," kata Neta.

Untuk diketahui, karier Tito di kepolisian memang pesat. Di usianya yang 51 tahun, pada 16 Juli 2016 dilantik menjadi Kapolri. Tito menyalip jenderal bintang tiga lain yang usianya terpaut bertahun-tahun di atasnya dalam bursa calon Kapolri. Ketika itu, dia melewati seniornya yang juga diajukan sebagai calon Kapolri di antaranya, Irwasum Komjen Dwi Prayitno (angkatan 1982), Wakapolri Komjen Budi Gunawan (angkatan 1983), Kepala BNN Komjen Budi Waseso (angkatan 1984), dan Kabaharkam Komjen Putu Eko Bayuseno (angkatan 1984) dan Komjen Suhardi Alius (angkatan 1985).

Di usia tersebut, karier Tito masih panjang. Soalnya, aturan main pensiun seorang polisi adalah sampai 58 tahun. Meski terbilang muda, Tito punya segudang prestasi sehingga dipercaya Presiden Jokowi memimpin Polri.

Diawali ketika dirinya sukses memimpin Tim Korba (Polda Metro Jaya) yang berhasil menangkap Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto, putra Presiden Soeharto, pada 2001. Tommy ditangkap dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiudin.

Prestasi juga ditunjukkan ketika Tito memimpin Densus 88, Polda Metro Jaya tahun 2005. Dia berhasil menangkap teroris Azahari dan kelompoknya di Batu, Malang, Jawa Timur. Prestasi berlanjut ketika Tito memimpin operasi antiteror di Poso, Sulawesi Tengah, hingga menumpas jaringan teroris Noordin M Top tahun 2009.

Tito kemudian menjadi Kapolda Metro Jaya dan berhasil melumpuhkan serangan bom di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Ledakan yang terjadi diawali dengan serangan di Starbucks Cafe.

Salah satu pelaku melakukan bom bunuh diri di sana. Tak hanya itu, pos polisi di depan Sarinah pun dibom oleh pelaku menyebabkan petugas tewas dan sejumlah warga luka-luka. Pemulihan keadaan terbilang singkat, dalam waktu 20-25 menit, para pelaku lain berhasil ditembak mati.

Berkat prestasinya itu, Presiden mengangkat Tito sebagai Kepala BNPT pada 16 Maret 2016. Pangkat Tito naik dari Inspektur Jenderal menjadi Komisaris Jenderal. Kemudian, 16 Juli 2016 dia dilantik menjadi Kapolri. ***