JAKARTA-Mahapatih Majapahit Gajah Mada disebut-sebut memiliki nama asli Gaj Ahmada dan beragama Islam. Frasa Gaj Ahmada pun sempat viral di media sosial Twitter. Seperti apa kebenarannya?

detikcom menelusuri sumber informasi viral Gaj Ahmada itu pada Sabtu (17/6/2017). Informasi yang viral itu menyebutkan bahwa Majapahit merupakan sebuah kerajaan Islam.

Setidaknya ada 6 poin yang menjadi dasar informasi itu, yakni penemuan koin Majapahit bertuliskan syahadat, nisan Sunan Maulana Malik Ibrahim yang menyebutkan bahwa dirinya merupakan Qadhi (hakim agama Islam) Kerajaan Majapahit, lambang Majapahit berupa matahari dengan tulisan Arab, Raden Wijaya adalah seorang muslim, nama Gajah Mada disebut sebagai Gaj Ahmada atau Syaikh Mada, dan dikaitkan pula dengan eksodus besar-besaran warga muslim Baghdad ke Nusantara setelah diserang tentara Mongol pada tahun 1293.

Poin-poin tersebut ini tentu berbeda dengan sejarah umum yang menyebut Majapahit adalah kerajaan Hindu, begitu juga dengan agama yang dianut Gajah Mada.

Informasi yang viral itu menyebut bahwa penelitian soal Gaj Ahmada dilakukan Lembaga Hikmah dan Kajian Publik Pengurus Daerah (LHKP PD) Muhammadiyah Kota Yogyakarta. Benarkah?

Tulisan itu tak menyebutkan sumber. Meski demikian, penelusuran detikcom terkait informasi viral itu mengarah ke buku 'Majapahit Kerajaan Islam'. Buku tersebut ditulis oleh Herman Sinung Janutama.

detikcom mencoba menghubungi Herman, namun belum mendapatkan konfirmasi. Informasi soal penelitian LHKP PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta dan buku itu akhirnya datang dari Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta Ashad Kusuma Djaya.

"Penelitian dilakukan oleh Mas Herman dan dibuat kajiannya oleh LHKP, dengan mendatangkan beberapa pembanding. Hasil kajian itu ditulis menjadi buku," ujar Ashad kepada detikcom.

Ashad mengatakan Herman bicara banyak soal viral Gaj Ahmada tersebut di wall Facebooknya. Penjelasan Herman soal kekeliruan Gaj Ahmada ada di komentar-komentar pada status Ashad.

Viral Gaj Ahmada, Ini Penjelasan Penulis 'Majapahit Kerajaan Islam'Tangkapan layar diskusi tentan viral Gaj Ahmada/Facebook

Dalam komentarnya di Facebook, Herman menegaskan bahwa informasi viral itu amat berbeda dengan buku yang dia tulis.

"Sepanjang bacaan kami status viral tersebut beberapa hal tidak terdapat pada buku kami. Misalnya penjelasan tentang GAJ-AHMADA. Dalam buku tertulis GAJAH-AHMADA. Leburan suku kata AH dalam bentukan kata GAJAHMADA adalah hukum GARBA dalam gabungan 2 kata atau lebih dalam kawi atau sansekerta. Dalam kasanah Jawa, tidak mungkin diizinkan kata GAJ, yang mematikan konsonan JA. Sebagaimana suku kata WA juga tidak diizinkan dimatikan, hanya W saja.

Tapi dalam viral tidak begitu membabarkannya....," tulis Herman pada dini hari tadi.

Dia kemudian menjelaskan pula mengenai lambang Surya Majapahit di makam Pusponegoro. Menurutnya lambang yang disematkan di sana terdapat di makam keturunan Raja-raja Majapahit.

"Kami juga diminta menjelaskan oleh salah satu pusat studi di UGM. Saya matur bahwa persoalan serius yang dibabar dalam buku Kesultanan Majapahit terletak pada kritik metodologi dalam menelitinya. Bagaimana obyek material menggunakan metode, sehingga mendapatkan data.... Tapi hal begini menurut saya tidak mungkin diterangkan dalam diskusi viral demikian," ungkap dia.