MEDAN - Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang terjadi di Kota Medan, baik yang dilakukan orang perorang maupun gerombolan (Geng Rape) membuktikan Ibukota Sumut ini sedang darurat kejahatan Seksual. Demikian ditegaskan Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, melalui siaran persnya kepada wartawan lewat pesan WattsApp, Rabu (7/6/2017).

Kata dia, salah satu contohnya adalah kasus sodomi yang menimpa 4 remaja laki-laki yang dilakukan seorang pria beristri di Medan Johor. Ada lagi kasus kekerasan seksual di dalam angkutan umum terhadap seorang siswi. Itu telah membuktikan situasi Kota Medan tidak lagi nyaman bagi warganya.

"Tidaklah berlebihan jika Kota Medan masuk dalam kategori kota yang menakutkan dan membutuhkan penegakan hukum yang berkeadilan dari para aparatur penegak hukum dan keterlibatan masyarakat di kota Medan," beber Arist Merdeka.

Lebih jauh Arist mengatakan, mempelajari kronologis tindak pidana kejahatan seksual yang terjadi di dalam angkutan umum baru-baru ini, patut diduga dan diwaspadai dilakukan sekelompok orang secara berencana dan sistimatis.

Sebab itu, kejadian ini harus menjadi pelajaran berharga dan momentum bagi masyarakat khususnya anak-anak untuk berhati-hati menggunakan angkutan umum. Sekaligus menjadi kesempatan berharga bagi masyarakat membangun gerakan bersama memutus mata rantai kejahatan seksual terhadap anak baik yang dilakukan bergerombol.

"Juga momentum bagi pemerintah dan aparatus penegak hukum untuk menerapkan sanksi hukum yang tegas dan berkeadilan serta meningkatkan rasa nyaman dan aman serta perlindungan bagi masyarakat," tandas Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak itu.

Untuk menyikapi maraknya angka kekerasan seksual terhadap anak yang telah menjadi fenomena di Medan, Komisi Nasional Perlindungan Anak mendorong aparatur penegak hukum, Polisi Jaksa maupun Hakim untuk menerap UU No 17 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU No. 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak dengan sanksi pidana pokok minimal 10 tahun dan maksimal 20 tahun ditambah dengan hukuman pemberatan fisik maupun kebiri (kastrasi) melalui suntik kimia bagi para predator atau monster kekerasan seksual.

"Bagi predator yang melakukan berulang-ulang kejahatan seksual dapat dikenakan sanksi hukum tambahan dengan pemasangan cip elektronik di badan pelaku kejahatan," pungkas Sirait.