MEDAN-Seorang pedagang tampak membakar rotan muda dengan panjang sekitar 1 meter di wadah panggangan. Walaupun bentuknya keras, siapa sangka daging rotan sangat lembut dan dijadikan lalapan yang disebut pakkat.

Pakkat hanya bisa anda temui di Medan dan sekitarnya, atau kota-kota di Sumatera Utara seperti Tapanuli, Sibolga, Asahan, Labuhan Batu, dan lain-lain. Untuk mendapatkan daging rotan yang lembut, rotan muda terlebih dahulu dibakar hingga kehitam-hitaman dan dikupas dengan cara dibelah.

Kemudian daging putihnya diambil untuk dimakan dengan campuran olahan sambal giling.
Jenis rotan yang bisa menjadi lalapan tidak sembarangan pucuk rotan. Biasanya, pucuk rotan yang diambil harus yang muda.

Batang-batang rotan muda ini tidak mudah untuk didapatkan. Pedagang rotan mengaku jauh-jauh hari sebelum Bulan Ramadan, para penjual harus sudah memesan pucuk rotan muda dari Tapanuli Selatan.

Makanan ini di meramaikan pasar dan pinggir jalan Kota Medan maupun di rumah makan.

Seperti di Simpang Aksara, Jalan Suka Ramai, Jalan Denai, dan Letda Sujono dan di beberapa titik lokasi lainnya. Sebatang pakkat dijual dengan harga Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu dapat 3 batang.

Rotan dibakar saat dipesan dengan api yang berkobar dari batok kelapa atau kayu bakar, bukan dipanggang dengan arang arang seperti daging.


Asapnya terkadang hingga ke jalan dan aroma bakaran rotannya pun cukup beraroma. 
Sekilas, penjual pakkat tampak seperti sedang membakar kayu kecil, padahal itulah makanannya.

Wisatawan luar kota bisa dibuat pangling ketika pertama kali tahu pucuk rotan ternyata bisa dimakan.

Tekstur pucuk memang lembut dan mudah dikunyah. Rasa pahit, layaknya lalapan pada umumnya dirasa pas di lidah dan menambah selera makan.

Lalapan satu ini dikenal menu kegemaran warga suku Batak Angkola dan Mandailing.
Tapi kini popularitasnya sudah berkembang pesat, semua suku di Sumatera Utara mau mencoba dan ikut menyukainya, baik itu Jawa dan Melayu hingga Padang.

Seorang penjual pakkat, Andi, menuturkan bisa menjual 300 hingga 500 pucuk rotan setiap harinya selama Bulan Puasa.

Ia menambahkan, untuk mengolah pucuk rotan agar bisa dimakan, pakkat harus dibakar sampai luarnya menghitam dan isinya melembut. Kemudian, isi dalam bambu tersebut dikeluarkan.

Peminatnya bukan dari kalangan suku mandailing tapi juga dari suku Jawa, Melayu dan Padang di Medan. Amrin, penikmat pakkat, menuturkan biasanya ia makan pucuk rotan untuk lalapan bersama sambal dengan irisan bawang dan kecap asin.

Pakkat bukan hanya sekedar makanan pemanis untuk berbuka puasa, tapi memiliki kasiat pengobatan juga. "Setahu saya dan yang sudah saya alami, Pakkat bisa dan obat penyakit darah tinggi," katanya.

Rasanya cukup kelat dan rasa pahitnya terasa cukup lama di lidah, tapi teksturnya lembut dan mudah dikunyah. Padahal proses pemasakannya hanya dibakar sebentar. "Kurang aja rasanya kalau gak ada Pakkat sebagai lalapan menu berbuka di bulan puasa," katanya sambil menunggu pakkatnya dikupas.