MEDAN - Yayasan Nation Building (NABIL) bekerjasama dengan Universitas Sumatera Utara (USU) mengadakan seminar nasional dan peluncuran buku 'Tionghoa dalam Kein­donesiaan'. Acara yang dibuka Rektor USU, Prof Dr Runtung SH MHum, Dekan FIB Dr Budi Agustono, dan dipandu moderator Dr Suprayitno (sejarawan USU).  berlangsung di Gedung Wisma Pariwisata USU itu bertujuan memaparkan peranan beragam etnis dan kontribusinya bagi pembangunan bangsa, khususnya China.

Sedangkan sebagai narasumber, Wara Sinuhaji, dari USU, Dr Asvi Rahman Adam (LIPI) dan Yusrin Lie dari Komunitas Tionghoa Medan.

Wara Sinuhaji, dalam kesempatannya antara lain memaparkan sejarah dan persoalan, dihadapi etnis Tionghoa.

"Membedah persoalan Tionghoa memang suatu hal yang selalu aktual dalam perjalanan panjang sejarah dan pembentukan bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa perjalanan sejarah bangsa Indonesia utamanya tidak dapat dilepaskan dari kontribusi dan peran Tionghoa," kata Wara Sinuhaji, seperti dihimpun GoSumut, Kamis (4/5/2017).

Wara mengungkapkan, Tionghoa dahulunya dikenal dengan sebutan orang Cina. Banyak stigma dan stereotif yang diciptakan terkait dengan permasalahan ini.

"Satu hal yang pasti bahwa kekuasaan memainkan peranan yang sangat besar terhadap permasalahan Tionghoa dari masa ke masa. Medan sebagai kota modern dan kosmopolit terbentuk sebagian besar dari kontribusi pendatang dari luar wilayah ini, termasuk orang Tionghoa," ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Wara menerangkan, perkembangan serta sejarah masuknya Tionghoa yang pesat di wilayah ini terjadi akibat ekspansi perkebunan pada akhir abad XIX. Beragam pendatang memadati kota. Hal ini dapat dilihat dari komposisi demografis yang meningkat pada awal abad XX.

"Ekspansi perkebunan telah mengakibatkan perubahan bagi kota Medan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik, serta pola demografi. Bahkan pada 1905 tercatat, Tionghoa mendominasi dari penduduk asli Medan yakni 9.397 orang dibanding bumiputera sebesar 2.191 orang. Namun seiring berjalannya waktu, jumlah Tionghoa di Medan terus menurun," terangnya.

Wara menambahkan, pergaulan antara keduanya memiliki cerita dan friksi tersendiri. Masing-masing pun terdapat pandangan tersendiri.

Pasang surut hubungan Tionghoa di Indonesia juga terkait dengan masalah stereotip dan diskriminasi yang terjadi. Sebenarnya hal ini merupakan warisan kolonial yang tetap dilestarikan dengan subur bagi kepentingan politik. Sehingga banyak peran dan kontribusi Tionghoa 'dikucilkan' untuk tidak mengatakan dihilangkan sama sekali.

"Pengalaman kolektif masa lalu menjadikan Tionghoa dipersepsikan sebagai 'orang luar' oleh kelompok mayoritas. Selain itu masalah utama adalah terkait dengan masalah stereotip, diskriminasi dan kontribusi bagi orang Tionghoa di kota Medan," tambahnya.

Wara menyebutkan, keberadaan orang Tionghoa di Nusantara telah berlangsung sangat lama. Bahkan persentuhan dan kontak dengan masyarakat Nusantara terjadi mulai permulaan abad masehi. Migrasi dan kontak tersebut didasari oleh aktivitas perdagangan dan hubungan yang sangat dinamis dalam kegiatan pelayaran bangsa Tionghoa termasuk ke Nusantara. Begitu pun di Sumatera Timur, hubungan Tiongkok dengan wilayah ini didasarkan pada penemuan arkeologis di wilayah seperti Labuhan Deli, Kotacina dan Delitua.

Disebutkan bahwa di tempat tersebut banyak ditemukan permukiman Tionghoa yang diperkirakan telah ada pada tahun 600-an hingga 700-an masehi. Catatan lainnya tentang keberadaan orang Tionghoa di Sumatera Timur adalah ketika petualang Inggris, John Anderson menyusuri wilayah pantai timur Sumatera pada 1823. Dalam catatannya wilayah Labuhan Deli telah dihuni oleh permukiman pedagang Tionghoa berjumlah sekitar 20 orang yang berasal dari Semenanjung Malaya. Mereka menetap dan membuka kedai di wilayah tersebut. Orang Tionghoa tersebut menguasai perdagangan dan mengendalikan kegiatan ekonomi di selat Malaka.

"Migrasi dan mobilitas orang Tionghoa terjadi secara masif yaitu ketika terbukanya Sumatera Timur sebagai wilayah industri perkebunan. Sumatera Timur yang terkenal dengan sebutan Deli sebelum ekspansi perkebunan merupakan hutan," sebutnya.