JAKARTA - Hanya beberapa jam sebelum teror London terjadi, Rob Wainwright yang mengepalai European Police Office (Europol) mengeluarkan peringatan akan bahaya terorisme. Peringatan itu ditujukan kepada negara-negara Eropa yang selama ini menerima pengungsi dari negara-negara yang sedang berkonflik seperti Syria dan Iraq.
Dalam tulisan yang diunggah di blog untuk memperingati setahun bom Brussel yang menewaskan 32 warga sipil dan 3 pelaku bom bunuh diri itu, Wainwright mengatakan ada komunitas radikal yang berkembang dari dalam negara itu sendiri. Bukan dari luar. Karena itu, potensi ancaman sangat tinggi.

Ada lima negara yang disebut mantan analis intelijen MI5 tersebut. Yakni, Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, dan Belanda. ’’Kita berhadapan dengan komunitas radikal yang besar dan tersebar di Eropa,’’ katanya. Di Inggris saja, MI5 mendeteksi 3.000 orang dalam komunitas tersebut. Jumlah hampir sama juga terdapat di negara-negara lain.

Selain imigran, anggota kelompok radikal tersebut berasal dari warga negara itu sendiri. Mereka memang tidak pernah pergi ke negara-negara berkonflik yang dikuasai kelompok Negara Islam (ISIS). Tapi, otak mereka terpengaruh oleh propaganda yang disebarkan ISIS melalui video-video yang mudah diakses melalui internet.

Kemungkinan, itulah yang terjadi pada Masood, pelaku teror London yang menabrakkan mobilnya ke arah pejalan kaki di Jembatan Westminster dan pagar gedung parlemen Inggris. Total 4 orang tewas karena aksinya.

Lembaga peneliti nonprofit Henry Jackson Society (HJS) juga menguatkan pernyataan tersebut. Mereka mengungkapkan bahwa 50 persen ekstremis di Inggris diradikalkan via internet. Dalam laporan yang berjudul Islamist Terrorism: Analysis of Offences and Attacks in the UK juga diungkapkan bahwa orang-orang yang diradikalkan kelompok ekstremis naik dua kali lipat dibandingkan lima tahun lalu.

’’Radikalisasi online memang meningkat dan penggunaan internet sebagai media untuk menyebarkan ekstremisme naik lebih dari dua kali lipat,’’ ungkap penulis laporan Hannah Stuart. Peneliti senior di HJS tersebut juga mengungkapkan bahwa laporan itu dibuat berdasar penelitian terhadap 269 orang yang tewas maupun dihukum karena tindak kejahatan terorisme di Inggris pada 1998–2015.

’’Al Qaeda adalah yang pertama (menggunakan cara radikalisasi via online) dan kini Islamic State (IS) memimpin dalam penggunaan internet dan media sosial sebagai alat propaganda,’’ tambah Stuart.

Hasil lainnya dari penelitian lembaga nonprofit yang berbasis di London itu terungkap bahwa 10 persen serangan teroris di Inggris dilakukan oleh lone wolves. Yaitu, orang yang melakukan aksinya sendirian. Rata-rata satu di antara 10 pelaku teror pernah melihat video pemenggalan yang dilakukan militan yang dikenal dengan sebutan ISIS tersebut.

Birmingham menjadi salah satu pusat ekstremis di Inggris. Dari 269 orang yang diteliti HJS, sebanyak 39 orang berasal dari Birmingham. Masood juga tinggal di kota itu. Sebanyak 213 ribu penduduk Birmingham beragama Islam. Jika dikalkulasi, jumlahnya lebih dari seperlima keseluruhan populasi di kota yang terletak di wilayah West Midlands tersebut.

Stuart juga mengungkapkan bahwa saat ini serangan dengan menggunakan senjata tajam sedang meningkat. Pelaku menghindari memakai bom maupun senapan. Penggunaan pisau atau senjata tajam lainnya membuat petugas keamanan sulit mendeteksi serangan pelaku.
’’Petugas keamanan hanya bisa mengamati kelompok tertentu sampai mereka memiliki bukti untuk membawa mereka ke pengadilan,’’ terang Stuart. 

Jika pelaku memiliki senjata api atau bom, tentu bukti mudah dicari. Namun, jika yang dipakai adalah senjata tajam, bukti kejahatan adalah ketika mereka sudah melakukan serangan. Sebab, tak jarang yang dipakai adalah pisau dapur yang tentu saja ada di setiap rumah.