JAKARTA - Tenaga kerja lokal Indonesia masih belum diberdayakan optimal di negerinya sendiri, hal ini sangat miris karena minimnya keterlibatan tenaga kerja lokal pada perusahaan-perusahaan pertambangan asing di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Senator asal Sulawesi Utara, Ir. Marhany Victor Poly Pua, pada rapat dengar pendapat umum Komite II dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) di Gedung DPD, Jakarta, Senin (6/2).

"Saya kira SDM kita apakah lemah di bidang tambang sehingga keikutsertaannya hanya sebatas pada tingkat buruh atau pesuruh. Kenapa tidak diikutkan pada jabatan-jabatan penting pada perusahaan-perusahaan tambang itu meskipun dikelola oleh asing," ujar Marhany.

Di sisi lain Komite II DPD RI menggali permasalahan-permasalahan terkait terbitnya PP No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam PP tersebut juga disebutkan beberapa perubahan diantaranya adalah perpanjangan pelaksanaan ekspor konsentrat dengan ketentuan harus merubah KK (Kontrak Karya) menjadi IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus).

Perpanjangan pelaksanaan ekspor konsentrat atau yang sering disebut dengan relaksasi ekspor minerba tersebut mengingkari ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 102 UU No. 4 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara.

"Terkait dengan hal itu Komite II ingin mendapatkan masukan dari narasumber tentang kebijakan relaksasi tersebut dan dampaknya bagi keberlangsungan usaha pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara," ucap Wakil Ketua Komite II, Anna Latuconsina, yang membuka acara tersebut.

Menurut Prihadi Santoso, Ketua Umum AP3I, kebijakan relaksasi ekspor tersebut akan memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi negara jika tidak ada mekanisme kontrolnya.

"Ini merupakan kebijakan yang mundur dimana sudah lebih dari 5 tahun banyak investor yang datang ke Indonesia menanamkan modal untuk membuat smelter-smelter berbagai mineral namun karena adanya kepentingan beberapa perusahaan membuat kandas lagi. Meskipun pemerintah memberikan waktu 5 tahun untuk mempersiapkan kembali," ungkapnya.

Ditambahkan Wakil Ketua AP3I, Jonathan Handoyo, mengungkapkan bahwa ijin pendirian smelter di Indonesia menyulitkan karena dikeluarkan oleh dua kementerian, yaitu Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian c.q BKPM.

"Sebetulnya akhir tahun yang lalu sudah diputuskan bahwa ijin pendirian smelter harus lewat satu pintu. Kementerian Perindustrian langsung menyerahkan semua persoalan ke BKPM, tapi entah kenapa ESDM masih menahannya. Mungkin nanti bapak ibu bisa menanyakannya ke pihak ESDM apa alasannya," tandasnya. ***