Tanah Batak memang memiliki banyak tradisi yang belum diketahui banyak orang, kali ini kita akan membahas salah satu tradisi yang ada di Sumatera Utara (Sumut), yaitu "Martutu Aek". 

Tradisi "Martutu Aek" ini dilakukan kepada seorang anak baru lahir untuk pembaptisan seorang anak tersebut menggunakan air, yang diletakkan di kepalanya. Air yang digunakan adalah air homba atau biasa disebut air dari ladang.

Upacara sendiri dimulai dengan pembacaan doa yang dibacakan oleh Kepala Suku setempat yang disebut Ulu Punguan kepada Mulajadi na Bolon. Hal ini telah ditentukan oleh Sibaso tersebut dan dilakukan pada waktu pagi-pagi waktu matahari terbit kemudian sang ibu menggendong anaknya yang pergi bersama-sama dengan rombongan para kerabatnya, menuju ke suatu mata air dekat kampung mereka. Setelah sampai disana, bayi dibaringkan dalam keadaan telanjang dengan alaskan kain ulos.

Kemudian Ulu Punguan yang membacakan doa kemudian memberikan minyak kelapa sebanyak satu tetes ke dalam cawan yang berisi jeruk purut, untuk memastikan tondi atau roh yang ada pada bayi tersebut ada di dalam tubuh bayi. Lalu bayi yang akan diberikan nama, terlebih dahulu dimandikan dengan menggunakan air, setelah itu Ulu Punguan mengusap dengan menggunakan kunyit ke tubuh bayi, kemudian menyiram dengan menggunakan jeruk purut.

Setelah itu Ulu Punguan mengeluarkan Pisau Solam Debata yang dibawanya untuk memberkati bayi tersebut. Melalui ritual ini, keluarga menyampaikan persembahan kepada dewa-dewa terutama dewi air Boru Saniang Naga yang merupakan representasi kuasa Mulajadi Nabolon dan roh-roh leluhur, untuk menyucikan si bayi dan menjauhkannya dari kuasa-kuasa jahat sekaligus meminta agar semakin banyak bayi yang dilahirkan (gabe).

Upacara Martutu Aek sendiri biasanya dilanjutkan dengan membawa si bayi ke pekan (maronan, mebang). Namun pada zaman dahulu pekan atau pasar (onan) hanya ada kali seminggu. Onan adalah simbol pusat kehidupan dan keramaian sekaligus simbol kedamaian.

Kemudian orangtua bayi akan membawa bayi ke tempat itu dan sengaja membeli lepat (lapet) atau pisang di pasar dan membagi-bagikan kepada orang yang dikenalnya sebagai tanda syukur dan sukacitanya.

Pada acara marhata sesudah makan, maka diumumkan lah nama si bayi. Bila anak yang lahir ini adalah anak pertama maka sudah biasa bila ada pemberian sawah oleh orangtua serta mertua untuk modal kerja.

Namun pada saat pemberian nama, peran dari Sibaso sangat besar karena keluarga meminta rekomendasi Sibaso untuk sebuah nama, jika Sibaso tidak menyetujui nama yang dianggapnya tidak baik maka orangtua dari si bayi pun akan mengganti nama itu.

Makna spiritualitas yang terkandung adalah memberikan kekuatan kepada tubuh si anak yang lahir dimana dengan adanya persembahan-persembahan kepada dewi air Boru Saniang Naga sehingga si anak kelak mempunyai daya tahan tubuh yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit.