MEDAN - Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (Hapsari) menilai akses ekonomi bagi perempuan hingga saat ini belum merata. Karena persentasenya diperkirakan di bawah 50 persen, terutama di desa, yang disebabkan kurangnya pemahaman dan informasi yang diperoleh masyarakat. "Implementasi keadilan ekonomi sudah ada tapi belum merata. Perlu terus menerus disosialisasikan. Banyak perempuan tidak tahu tempat-tempat dan pinjaman yang bisa diakses, apalagi di desa," ujar Ketua Pelaksana Harian Hapsari Riani, disela-sela dialog bertajuk Keadilan Akses Terhadap Ekonomi Bagi Perempuan di salah satu hotel di Medan, Kamis (17/11/2016 ).

Oleh karenanya, lanjut dia, perlu dilkukan pemberdayaan perempuan, dan pemerintah berkewajiban mengembangkan ekonomi bagi perempuan, salah satunya dengan bekerjasama dengan desa untuk menggali potensi perempuan dan mengadakan pelatihan guna menambah pengetahuan dan peningkatan kapasitas diri.

“Kapasitas juga harus dimodali agar mampu mengembangkan kemandirian ekonomi. Sehingga bisa berusaha meningkatkan ekonomi dengan mengembangkan modal dan memasarkan produk,” tutupnya.

Koordinator provinsi Konsil LSM, Sony Sucihati menuturkan, perempuan rentan terhadap kekerasan. Untuk itu, pemberdayaan perempuan harus dilakukan mulai dari pedesaan. "Kita ingin meningkatkan kepercayaan para pemangku jabatan agar secara khusus menguatkan program ekonomi berbasis perempuan. Misalnya dengan dana CSR," tuturnya.

Hal serupa juga diungkapakn pimpinan unit Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Sumut, Abdul Hamid, perempuan menjadi isu penting dalam kegiatan perekonomian. Karena itu pihaknya memiliki program pemanfaatan CSR untuk pemberdayaan perempuan.

"CSR kita pernah ada program kredit sumut sejahtera. Sekarang namanya Permaisuri, ini kredit khusus perempuan," tambahnya. 

Menurutnya, dulu pinjaman untuk perempuan hanya Rp500 ribu hingga Rp5 juta. Saat ini, pinjaman dari dana CSR sudah mencapai Rp10 juta per orang. Program tersebut dapat  digunakan untuk kegiatan yang bermanfaat.