MEDAN-Kebutuhan pangan seperti cabai merah di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara, saat ini sedang mengalami fluktuasi harga. Akibat dari  tingginya harga jual cabai merah, konsumen mulai beralih membeli cabai merah basah alias cabai tidak segar.  

Meski petani tidak menaikkan harga cabai kepada agen penampung, faktanya, sebulan terakhir harga cabai masih terus bergejolak.  Menanggapi hal itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai, selama ini ada kekeliruan dari pemerintah mengenai kebijakan pertanian dan pangan untuk kebutuhan nasional maupun daerah. Akibatnya, disaat situasi menghadapi kenaikan harga cabai, petani seolah dibiarkan.  

 “Jadi sepertinya pemerintah tidak ada peran, akhirnya, kadang harga cabai jatuh sejatuhnya, kadang naik senaiknya. Seharusnya, pemerintah nasional  maupun daerah punya  strategi untuk urusan kebutuhan pangan.   Misalnya kita di Sumut, berapa sih sebenarnya kebutuhan konsumsi cabai kita. Itu harus tahu. Nah, terus didorong petani-petani melalui koperasi-koperasi untuk memproduksi  cabai dalam skala yang betul-betul  terdata, dan dibuat harga patokan terendah dan tertinggi,” kata Henry kepada GoSumut, Jumat (11/11/2016). 

Ia mencontohkan negara tetangga, Malaysia yang sudah berhasil  dalam mengelola para petani cabai. Namun di Indonesia sendiri, hal itu masih sulit terwujud.  “Malaysia memiliki patokan harga  cabai terendah itu seharga 5 Ringgit, sedangkan tertinggi 10 Ringgit. Kalau harganya di bawah lima ringgit pemerintah harus  beli sebanyak-banyaknya cabai yang ditanam  rakyat.

Kalau sudah di atas sepuluh ringgit itu pemerintah harus  membuat semacam operasi pasar.    Di sumut sendiir itu tidak ada, jadi  dibiarkan begitu saja bebas. Kebetulan sekarang musim sulit manamann cabai, jadinya banyak yang busuk. Mau  dialihkan bertani sistem rumah kacaa, harganya mahal. Akhirnya harga cabai jadi terus begini,” ungkapnya. 

Langkah pemerintah provinsi  maupun kabupaten tidak ada untuk mengatasi ini, dan terjadi bukan di tahun ini saja, tapi ini sudah sejak dulu.  Bahkan secara nasional  juga demikian. Seharusnya, sambung Henry, petani cabai diberi pembinaan yang serius mulai dari  pembibitan, penanaman sampai ke panen.  

“Ini tidak ada, artinya penanaman cabai selama ini hanya bekerja  sendiri tidak ada panduan. Bila musim hujan harusnya bagaimana mengatasinya? Makanya kalau petani cabai bilang, bertani cabai itu seperti berjudi. Harusnya kalau punya perencanaan pada musim tanam cabai yang bagus, cabai-cabai itu dibeli dan dijemur, dibikin tepung cabai untuk mengantisipasi pembusukan.

Atau dibuat cabai kering, jauh lebih bagus dari segi kesehatan, ketimbang cabai yang sudah mau busuk dijual,” jelasnya.  Selain itu, lanjut Henry, pemerintah provinsi harus mempunyai sebuah program yang sistematis mengenai  pembibitan cabai sampai kepada soal industrinya. 

“Harus masuk ke lebih teknis lagi, bagaimana nanti ketika musim panen, selain dijual segar, berapa  nanti yang harus dikeringkan.  Bahkan berapa  yang  dibolehkan untuk dijual di pasar Sumut, luar Sumut dan luar negeri ini harus diatur. Dengan begitu, tidak akan jadi persoalan terus di tahun berikutnya,” ujarnya. 

Henry khawatir, jika pemerintah tidak memilki konsep strategis  terhadap ketahanan pangan, negara lain akan leluasa memanfaatkan celah yang ada untuk membuat lahan perkebunan secara pribadi.  “Kemarin, sudah ada warga negara Cina menanam cabai di Bogor ditangkap polisi, kenapa?, karena dia tahu, Indonesia tidak ada kebijakan begitu (kebijakan pangan), jadi dia membuat semacam perusahaan cabainya sendiri,” terang Henry.