MEDAN - Anggapan selama ini terhadap pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit dapat merusak lingkungan dinilai salah. Persepsi tersebut merupakan asumsi yang keliru karena kenyataannya tidak demikian. 
Untuk itu, anggapan yang telah meracuni masyarakat ini harus diperbaiki. Sebab, komoditi sawit merupakan penghasil atau devisa terbesar negara Indonesia.

Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Ir Abdul Rauf MP mengungkapkan, lahan gambut di Indonesia sudah dipergunakan untuk areal pertanian sejak 100 tahun yang lalu, termasuk untuk areal tanaman kelapa sawit.

Menurutnya, lahan gambut pun bisa dioptimalkan jika menggunakan teknik budidaya yang baik. Bahkan, saat ini beberapa kelompok masyarakat sudah pandai dalam menggunakan lahan gambut sehingga bisa untuk menopang roda perekonomiannya.

"Lahan gambut layak digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Bahkan, di Negeri Lama, (salah satu daerah di Sumut) terdapat perkebunan kelapa sawit yang usianya sudah mencapai 100 tahun lebih atau 4 generasi.

Produktivitas tandan buah segarnya bisa mencapai diatas 20 ton per hektar per tahun," ungkap Rauf kepada GoSumut, di Gedung Biro Rektorat USU, Rabu (2/11/2016).

Rauf menjelaskan, lahan gambut masuk dalam klasifikasi kesamaan lahan kelas tiga. Akan tetapi, jika dibudidayakan dengan baik atau secara good agriculture practices (GAP), maka bisa menjadi klasifikasi tanah kelas dua. Oleh karena itu, tidak heran jika produktivitasnya bisa mencapai minimal 20 ton per hektar per tahun.

"Pemanfaatan lahan gambut yang sesuai GAP di antaranya, dengan water management (manajemen air). Jadi pembuatan drainase di lahan gambut bukan untuk membuang air melainkan menekan permukaan air maksimum 60 cm.

Tujuannya agar permukaan air di lahan gambut tetap terjaga dan tanaman tetap tumbuh subur. Hal ini karena sifat air yang kapilaritas yang bisa naik memenuhi lahan gambut tersebut," papar Rauf.

Diutarakannya, lahan gambut akan rusak jika terlalu kering (susidensi), sehingga bisa membentuk pasir semu. Karena itu, solusinya ialah harus mempertahankan kadar air sebesar 300 persen. Artinya, volume air sebesar tiga kali dari berat gambut tersebut.

"Berapa pun kedalaman gambut kalau water management-nya baik atau tetap mempertahankan permukaan air di 60 cm, maka gambut akan tetap baik, begitu juga dengan produktivitasnya. Oleh sebab itu, pembuatan drainase yang menghubungkan ke parit-parit agar bisa menambah dan menurunkan permukaan air pada lahan tersebut di perkebunan kelapa sawit. 

Jadi, caranya yaitu disaat musim kemarau bukalah kran air tersebut sehingga air bisa masuk ke parit-parit agar lahan gambut tetap basah. Kemudian, jika musim hujan kran dibuka untuk menurunkan permukaan air. Bahkan, perkebunan yang di Sumut itu kran airnya sudah otomatis sehingga bisa menaikan dan menurunkan permukaan air di lahan gambut agar tetap stabil," jelas Rauf.

Ia menambahkan, agar lahan gambut yang ditanami sawit tetap berkelanjutan yakni dengan cover crop (tanaman penutup lahan) tidak harus menggunakan tanaman kacang-kacangan. 

Namun, memang tanaman kacang digunakan selain untuk penutup tanah juga digunakan sebagai penyumbang nitrogen. Tetapi, untuk lahan gambut tidak perlu. Sebab, sudah memiliki kadar nitrogen yang cukup tinggi.