IDI - LSM Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh meminta Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) Aceh, melakukan audit Investigatif terhadap Sekretraiat Dewan Perwakilan Rakyat Kabupetan (DPRK) Aceh Timur. Hal itu dikarenakan ada indikasi penyimpangan anggaran. “Indikasi penyimpangan dimaksud terkait tentang dugaan SPPD fiktif, biaya makan minum anggota DPRK selama setahun dan sewa gedung DPRK selama dua tahun,” kata Kepala Bidang Evaluasi dan Monitoring LSM GeMPAR Aceh, Muhammad Suheri, dalam relisnya yang diterima GoAceh, Senin (27/6/2016) malam.

Dijelaskan dia, dalam APBK Aceh Timur Tahun 2015, Sekretariat DPRK Aceh Timur, mendapat alokasi dana Rp.17.390.476.211 untuk kebutuhan wajib gaji PNS dan Anggota dewan termasuk makan minum selama setahun Rp 700 juta.

“Kemudian biaya perjalanan dinas luar daerah untuk pimpinan dan angggota DPRK selama setahun sebesar Rp.2.000.000.000. Untuk biaya kursus dan pelatihan bagi pimpinan, anggota DPRK dan pegawai sekretariat DPRK sebesar Rp.1.960.000.000. Sedangka biaya perjalanan dinas luar daerah untuk kunjungan kerja pimpinan DPRK, komisi DPRK dan pendamping golongan IV dan III Rp.1.731.400.000 dan biaya sewa ruko untuk kantor DPRK selama dua tahun Rp.420.000.000, “ sebut Suheri.

Lebih lanjut pengelolaan dan pertanggungjawaban dana tersebut sebenarnya telah diminta rekapitulasi pertanggungjawaban oleh pihak anggota DPRK Aceh Timur dalam Sidang Paripurna LKPJ Bupati Aceh Timur beberapa waktu lalu, tapi tidak mendapat tanggapan dari pihak Sekwan. Kata Suheri, sehingga patut diduga adanya potensi penyalahgunaan wewenang dan jabatan serta dugaan penyimpangan anggaran mengatasnamakan kepentingan DPRK.

“Ini kan aneh, penempatan dana itu sebagian besar untuk dewan sebagaimana diplot dalam APBK, tapi anehnya Sekwan kok tidak terbuka memberikan rekapitulasi pertanggungjawaban kepada anggota dewan itu sendiri, ada apa ini? “ tanya Suheri.

Karena itu pihaknya mendesak BPK RI Perwakilan Aceh untuk melakukan audit investigatif terhadap dana yang dikelola oleh Sekwan Aceh Timur selama tahun 2015, “Termasuk soal sewa ruko kantor DPRK Aceh selama dua tahun sekaligus. BPK harus berani mengambil tindakan tegas terhadap penyimpangan anggaran yang disinyalir sangat kontras terjadi di Aceh Timur, “ tutup Suheri.