SAWAHLUNTO - Pengerajin tenun songket Silungkang yang sungguh-sungguh melakoni pekerjaannya, akan merasakan peningkatan perekonomian. Karena, kerajinan tenun songket Silungkang juga dinilai mudah untuk dipelajari. Setidaknya hal itu dialami Nurhelmi. Ibu tiga anak kelahiran Lumindai, 29 September 1985 itu, memilih fokus mengembangkan kerajinan tenun songket Silungkang, semenjak dua tahun terakhir.

Nurhelmi mengaku belajar dari teman akrabnya yang telah lebih dahulu menekuni kerajinan yang telah berusia lebih dari seratus tahun itu. hanya dalam hitungan tiga hari, Nurhelmi memutuskan untuk membeli langsung perangkat alat tenun bukan mesin.

“Waktu itu modal yang saya miliki Rp3,3 juta, dari hasil tabungan. Selain mendapatkan alat tenun, juga mendapat empat gulungan benang, untuk dijadikan sehelai songket Silungkang. Alhamdulillah, kini sudah berkembang,” ungkapnya.

Nurhelmi yang sebelumnya menjadi seorang guru PAUD dengan gaji Rp150 ribu dalam sebulan, dengan sangat berat hati, Nurhelmi terpaksa meninggalkan profesi sebagai guru PAUD, memilih jalan menjadi pengerajin.

Meski demikian, Nurhelmi tetap menjalankan kewajibannya sebagai guru TPQ, yang menurutnya menjadi kewajiban sosial di tengah masyarakat Lumindai.

Tidak hanya Nurhelmi, keinginan untuk bertenun juga menular ke suaminya, Akmal. Pria yang semula berprofesi sebagai tukang ojek dan buruh tani tersebut, turut kepincut untuk mengembangkan kerajinan tenun songket Silungkang.

Dengan satu unit alat tenun bukan mesin yang mereka miliki, Nurhelmi dan Akmal bergantian membuat kerajinan tenun songket Silungkang. Setidaknya, dalam sepekan pasangan suami istri itu bisa menyelesaikan minimal lima helai songket.

Rata-rata keuntungan yang mereka dapatkan mencapai Rp130 ribu untuk satu helai tenun, atau lebih dari Rp650 ribu dalam satu pekan. Pasangan itu berharap memiliki satu unit alat tenun bukan mesin lagi.

Sehingga, mereka tidak lagi harus bergantian untuk bisa mengerjakan tenun songket Silungkang. “Kalau ada dua ATBM, tentu perekonomian kami akan lebih baik lagi, dan semakin fokus dalam mengembangkan kerajinan tenun ini,” ujar Akmal.

Saat ini, pasangan Nurhelmi dan Akmal tengah memiliki lebih dari 150 helai tenun songket Silungkang pesanan khusus, dengan warna serba putih. Namun, kendala modal dan ATBM yang hanya satu unit, penyelesaiannya dilakukan secara bertahap.

“Kalau bisa, Pemerintah Sawahlunto melalui Dinas Perindagkopnaker dapat memberikan kami satu unit ATBM dan pinjaman modal. Sehingga kami bisa bergerak lebih cepat memenuhi pesanan yang ada,” ujarnya.

Nurhelmi maupun Akmal yakin, kerajinan tenun songket Silungkang akan dapat dijadikan andalan dalam mengembangkan usaha, membangun ekonomi rumah tangga, dan melanjutkan pendidikan tiga anak mereka.

Sekarang, Nurhelmi bersama Akmal berusaha merintis pengembangkan usaha mereka ke luar dari Sawahlunto. Mereka berusaha membangun jaringan sendiri, dalam memasarkan produk kerajinan yang mereka hasilkan.

“Saya ingin memiliki pasar sendiri di Kota Padang maupun Jakarta. Sebab, jika kami pasarkan sendiri, tentu keuntungan yang kami dapatkan juga akan lebih baik,” pungkasnya. (humas)