MEDAN- Tidak ada ketrampilan khusus yang dimiliki Maimun (50) untuk bisa bertahan hidup di rantau orang selain pintar membuat sate Matang (sate khas Aceh).  Hal itu baru disadarinya setelah wara wiri bekerja serabutan bahkan menjadi  pengangguran karena sulitnya mendapat pekerjaan. Di tengah keputusasaan itu,  tahun 2001 ia mencoba berjualan sate matang. “Tidak tahu lagi mau bekerja apa. pernah juga kerja bangunan, tapi tiba gajian malah uangnya tidak dibayar,”kenangnya. Hingga suatu hari ada seorang teman yang mempercayakannya uang Rp500ribu.

Uang itu dimanfaatkan secara maksimal. Pria yang akrab disapa Cek Mun itu pun langsung mencari tempat jualan. “Karena yang saya jual itu masakan khas Aceh, saya harus mencari armada tempat berkumpulnya orang Aceh,”paparnya. Gerai pertamanya di emperan di kawasan Pondok Kelapa, disamping stasion bus Anugerah.

Jualan pertama tidak langsung sukses. “Namanya juga masih baru baru,”paparnya. Pernah juga Cek Mun kehabisan modal usaha. “Pernah saya membeli garam dengan menggadaikan hand phone. Saking benar benarnya tidak ada uang. Sementara untuk daging dapi kebutuhan sate,  saya buat perjanjian dengan penjual daging. Agar saya bisa membayar besok harinya, saat sate sudah siap dijual,”terangnya.

Kejujuran itu dipegang teguh Cek Mun. hal itu berlangsung hingga hari ini. Untuk itu, ia meyakini modal bukanlah satu satunya syarat untuk bisa menjadi seorang pengusaha. “Yang penting adalah ulet, jujur, sabar dan mau bekerja keras,”imbuhnya.

Setelah 6 bulan berlangsung, satenya mulai dikenal orang. Cek Mun merasa perlu untuk merekrut karyawan agar bisnisnya bisa semakin melebar. “Saya melakukan tambahan outlet. Tapi saya menghindari membuka sendiri. Saya suka dengan konsep food court. Dengan banyaknya pedagang lain di satu tempat akan semakin banyak pelanggan datang ke tempat tersebut. Ini akan menjadi media promosi juga untuk sate saya, karena produk yang saya jual adalah termasuk masakan baru bagi masyarakat umum,”ungkapnya.

Seiring waktu, Cek Mun sudah mulai berani keluar kotak. Ia mencari armada baru untuk menyerap pasar masyarakat umum. “Saya mulai buka cabang di kantong kantong masyarakat atas seperti di seputar jalan Setia Budi, Kapten Muslim. Saya juga sering ikut pameran untuk lebih mengenalkan sate matang kepada masyarakat luas,”jelasnya. Selain penjualan langsung, sate cek Mun sering dipesan pelanggan untuk acara pesta perkawinan, ulang tahun dan arisan.

Usahanya membuahkan hasil. Kini sate matang Cek Mun sudah memiliki 10 -an  outlet. Ia juga mulai mempersiapkan diri untuk bisnis opportunity. Perharinya ia menghabiskan antara 50 hingga 100 kilo daging sapi untuk kebutuhan sate matang. Pastinya  jutaan  rupiah omset dikantonginya tiap hari buah dari usaha dan kerja kerasnya.(bersambung)