Oleh: Zul Anwar Ali Marbun
 
BARANGSIAPA yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), mereka akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (Qur'an Surat An-Nisa' ayat 69).


Tafsir Ibnu Katsir Juz 5 halaman 349 menjelaskan ayat ini, bahwa barangsiapa melakukan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan apa yang dilarang, Allah SWT akan menempatkannya di tempat kehormatan-Nya (Surga) dan menjadikannya pendamping para Nabi, kemudian orang-orang yang derajatnya di bawah mereka. Yaitu; para Shiddiq (orang-orang yang jujur dalam imannya), para Syuhada' (orang-orang yang mati syahid, lalu kaum mukminin secara umum, yaitu orang-orang shalih yang baik (benar) pada apa-apa yang tersembunyi dan tampak pada mereka. Kemudian Allah memuji mereka dengan firman-Nya "mereka itulah teman yang sebaik-baiknya".

Demikian ceramah pembuka disampaikan Al Ustadz Drs. Nizar Idris, MA pada pengajian Ranting Muhammadiyah Ar-Ridha di kediaman Istiraqo Jalan Bajak 2-H Gg. Ikhlas Medan, Kamis 1 Maret 2018.

Pengajian tersebut merupakan aktivitas rutin yang dilakukan jamaah Ranting Muhammadiyah Ar-Ridha setiap Kamis malam bakda Isya secara bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain guna meningkatkan kualitas iman, ilmu dan amal sekaligus menjadi sarana mempererat silaturahim antar jamaah.

Berangkat dari firman Allah Surat An-Nisa' 69 tersebut, kata Ustadz Nizar Idris yang juga Dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) itu menunjukkan kepada kita bahwa jalan menuju Surga tidak harus dilalui dengan cara-cara  yang radikal seperti melakukan serangan bom bunuh diri  seperti yang dilakukan mereka yang ditengarai sebagai pelaku teror mengatasnamakan "jihad". 

Nizar Idris sekaligus mempertanyakan, kenapa ada oknum yang melakukan perjuangan mengatasnamakan jihad dengan cara membinasakan diri? Padahal dalam Surat Al Baqarah ayat 195 Allah SWT berfirman, "Janganlah kamu menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri. Berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berbuat baik".

Begitu juga dalam Surat An Nisa' ayat 29, Allah SWT menegaskan, "Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu". Diperkuat lagi dalam Surat Al A'raf ayat 157 yang artinya, Allah menghalalkan segala yang baik dan mengharamkan segala yang buruk.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”…” (Qur'an Surat Al-Hajj ayat 39-40).
 
Dalam ayat ini, penyebab disyariatkannya perang sangat jelas sekali. Yaitu, karena umat Islam dizalimi dan diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang dibenarkan.
 
Allah SWT berfirman, "Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 190). 

Dalam kaitan berperang ini Rasulullah Muhammad Saw juga bersabda, "Aku nasihati engkau dengan sepuluh perkara, jangan membunuh kaum wanita, anak-anak, orangtua dan orang lemah. Jangan menebang pohon berbuah. Jangan menghancurkan rumah. Jangan membunuh domba atau unta kecuali untuk makan. Jangan membakar sarang lebah dan membubarkannya. Jangan mencuri rampasan perang dan jangan menjadi pengecut. (Hadist Riwayat Muslim).

Dalam Hadist yang lain Nabi Saw bersabda, “Berperanglah dengan menyebut nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah mereka yang kufur kepada Allah. Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari dari medan perang, jangan kalian memutilasi, jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang sepuh, dan rahib di tempat ibadahnya.” (Hadist Riwayat Muslim).
 
Kembali ke firman Allah Surat An Nisa' ayat 69, "Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Muhammad), mereka akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. 

Melalui firman Allah ini kata Ustadz Nizar Idris memberi sinyal kepada kita ternyata ada jalan yang lebih elegan untuk bisa masuk ke Surga-Nya Allah dengan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk amal (perbuatan).

Namun agar suatu amal ibadah diterima di sisi Allah, lanjut Nizar Idris, haruslah terpenuhi dua syarat, yaitu:

Ikhlas karena Allah semata. Kemudian mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ittiba’.

Karena jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka amal ibadah menjadi tertolak," kata Ustadz Nizar seraya merinci dalil-dalil dari Al Qur’an, As Sunnah, dan perkataan Sahabat Nabi Muhammad Saw.

Adapun dalil dari dua syarat itu disebutkan dalam firman Allah SWT yaitu, "Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (Qur'an Surat Al Kahfi ayat 110).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman Allah, "Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Qur'an Surat Al Mulk ayat 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)".

Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Berdasarkan hadist, ada dua syarat diterimanya amalan sebagaimana dijelaskan hadist berikut: 

Hadist pertama dari ‘Umar bin Al Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita)”.

Hadist kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Dalam Kitab Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadist ini adalah hadist yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadist ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadist ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap ridha Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama.

Di kitab Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab rahimahullah juga mengatakan, “Suatu amalan tidak akan sempurna (tidak akan diterima) kecuali terpenuhi dua hal:

Pertama, amalan tersebut secara lahiriyah (zhohir) mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terdapat dalam hadist ‘Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak. 

Kedua, amalan tersebut secara batininiyah harus diniatkan ikhlas mengharapkan ridha Allah. Hal ini terdapat dalam hadist, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat’.”
Para sahabat  Nabi Muhammad Saw juga mempunyai pemahaman bahwa ibadah semata-mata bukan hanya dengan niat ikhlas, namun juga harus ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai dalilnya, ada dua atsar dari sahabat.

Pertama, perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Setiap yang bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.”
Kedua, kisah ‘Abdullah bin Mas’ud, dimana Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingatkan mereka dengan mengatakan, “Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. 
Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”

Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”

Kemudian Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.”

Kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- meyakini bahwa niat baik semata-mata tidak cukup. Karena ibadah dapat diterima di sisi Allah juga harus mencocoki teladan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa ibadah baik itu shalat, puasa, dan zikir semuanya haruslah memenuhi dua syarat diterimanya ibadah yaitu ikhlas dan mencocoki petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sehingga tidak tepat perkataan sebagian orang ketika dikritik mengenai ibadah atau amalan yang ia lakukan, lantas ia mengatakan, “Menurut saya, segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-masing”. Ingat, tidak cukup seseorang melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik, tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Saw).
 
Sebab musabab Munculnya Amalan Tanpa Tuntunan
 
Adapun sebab musabab munculnya amalan tanpa tuntunan, kata Ustadz Nizar Idris: Pertama, tidak memahami dalil dengan benar. Kedua, tidak mengetahui tujuan syari’at. Ketiga, menganggap suatu amalan baik dengan akal semata. Keempat, mengikuti hawa nafsu ketika beramal.

Kelima, berbicara tentang agama tanpa ilmu dan dalil. Keenam, tidak mengetahui mana hadist shahih dan dho’if (lemah), mana yang bisa diterima dan tidak. Ketujuh, mengikuti ayat-ayat dan hadist yang masih samar. Kedelapan, memutuskan hukum dari suatu amalan dengan cara yang keliru, tanpa petunjuk dari syari’at. Kesembilan,bersikap ghuluw (ekstrim) terhadap orang tertentu. Apa yang dikatakan panutannya, ia ikuti walaupun itu keliru dan menyelisih dalil dari Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad Saw.
 
Inilah di antara sebab munculnya berbagai macam amalan tanpa tuntunan atau bid’ah di sekitar kita. Karena itu, taatilah Allah dan Rasul sehingga amal ibadah kita tidak tertolak.
 
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Amin ya rabbal 'alamin.