Oleh Marthunis
PADA saat Finlandia meraih kemerdekaan pada 1917, negara ini merupakan salah satu negara di Eropa yang terbelakang secara perekonomiannya. Kini setelah tepat 100 tahun usia kemerdekaan, negara dengan populasi penduduk sekitar 5,5 juta jiwa ini telah menjelma menjadi salah satu negara terkaya di Eropa bahkan di dunia.
Praktik Pengelolaan
Minggu lalu, saya bersama 29 guru Sekolah Sukma Bangsa Aceh tiba di Finlandia, tepatnya di Kota Tampere, kota terbesar ke-3 setelah Helsinki dan Espoo. Kerja sama yang terjalin antara Yayasan Sukma-University of Tampere, Finlandia, mengantarkan 30 guru dari sekolah Sukma Bangsa Aceh untuk menempuh studi master bidang pendidikan di sana. Saya bersama 29 guru lainnya merasa sangat beruntung mendapat kesempatan menempuh pendidikan master di bidang pendidikan di negara itu karena sejatinya hanya 10% dari 6.000 pelamar setiap tahunnya yang diterima.
Pada minggu pertama kuliah, kami mengikuti course Introduction to Finland and Finnish Education System. Kami diberi kesempatan selama tiga hari berturut-turut mengunjungi SD, SMP, dan SMA di Kota Tampere. Selain melihat langsung proses pengajaran yang terjadi di dalam kelas dari setiap jenjang, kami juga dapat mengobservasi banyak hal lainnya seperti fasilitas sekolah, interaksi sosial yang terjadi antara guru dan siswa atau antara siswa dan siswa dalam penyelenggaraan pendidikan. Setelah proses observasi berlangsung, kami bersama dua dosen yang mengampu mata kuliah itu melakukan refleksi dan diskusi. Setidaknya ada empat poin penting yang menjadi catatan saya berkaitan dengan isu praktik pengelolaan pendidikan di negara ini. Pertama, sekolah negeri yang setara bagi semua. Di Finlandia, hampir tidak kita temukan adanya sekolah swasta. Semua sekolah dari setiap jenjangnya dikelola dan disubsidi penuh oleh pemerintah, mulai buku teks hingga makan siang gratis di sekolah. Dari tiga jenjang sekolah yang saya kunjungi yang notabenenya berstatus negeri, semuanya memiliki fasilitas dan infrastruktur yang dapat dikatakan berkualitas lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah swasta internasional sekalipun di Indonesia. Kedua, setiap guru yang mengajar sudah dibekali training pedagogis yang memadai dan setidaknya mereka harus bergelar master di bidang pendidikan pada setiap subjek yang diajarkan. Ketiga, proses evaluasi pembelajaran yang sifatnya tradisional. Berbeda dengan mayoritas negara-negara OECD yang menerapkan standardized-test atau standardized-examination sebagai mekanisme kontrol terhadap kualitas standar pendidikan di negara masing-masing. Sebaliknya, sistem evaluasi belajar di Finlandia benar-benar dikembalikan kepada sekolah, bahkan setiap guru yang mengampu mata pelajaran. Dalam kasus ini, saya pernah bertanya kepada guru dan dosen di sini, "Bagaimana negara mengontrol kualitas pendidikannya jika tidak ada standardisasi dalam tes maupun evaluasi?" Keduanya mempunyai jawaban yang kurang lebih sama, "Budaya di Finlandia mengajarkan peserta didiknya untuk belajar demi kehidupan mereka sendiri tanpa harus terbebani untuk berkompetisi dan menjadi lebih baik dari orang lain."
Singkatnya, pendidikan di Finlandia hanya bertumpu pada bagaimana si peserta didik belajar dengan baik demi masa depannya sendiri, tanpa menempatkan individu peserta didik untuk bersaing menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. Begitu halnya yang terjadi dalam level yang lebih luas, sekolah atau universitas tidak berusaha bersaing menjadi lebih baik daripada sekolah atau universitas lainnya, bahkan pendidikan negara mereka secara keseluruhan juga tidak merasa berada dalam persaingan untuk menjadi yang terhebat jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Nilai menjadi diri sendiri itulah yang kemudian mengantarkan mereka pada kemajuan pendidikan yang dikiblati negara-negara lain. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa Finlandia melawan arus GERM meskipun negara mereka tergabung dalam OECD.
Keempat ialah Culture of Trust
Kepercayaan penuh yang diberikan otoritas pendidikan serta pemimpin-pemimpin politik Finladia kepada kepala sekolah, guru, orang tua, murid, serta setiap komunitas di negara ini untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak dan generasi muda mereka, dengan cara masing-masing telah membawa peradaban pendidikan mereka ke puncak kejayaan. Semoga negara kita Indonesia dapat berkaca pada keberhasilan Finlandia membangun pendidikan mereka. Negara kita tidak harus menjadi seperti negara-negara lain, tetapi ide pendidikan yang dibangun serta proses yang dirancang selayaknya mengakomodasi keunikan kultur masyarakat yang amat beragam agar pendidikan di Indonesia memiliki kekhasan dan identitas sendiri dan agar kemajuan Indonesia di masa mendatang benar-benar dibangun dari kekayaan kultur, budaya serta keberagaman masyarakat. Wallahualam. Penulis: Marthunis, Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie Aceh, Kandidat Master in Teacher Education University of Tampere Finlandia