MEDAN - Gedung bioskop yang dulu sempat jaya dan dipadati penonton di kota Medan kini sudah banyak yang beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan, rumah toko dan peruntukan lainnya. Bioskop sempat menjadi primadona di tahun 1990-an sampai 2005. Setelah internet mulai marak dan play station bermunculan, minat masyarakat untuk menonton film ke bioskop semakin berkurang.

Ditambah lagi dengan banyaknya film-film bajakan yang bisa diperoleh dengan harga Rp5 ribu sampai Rp10 ribu per keeping CD-nya membuat nasib bioskop di kota Medan semakin redup dan tutup satu per satu.

Imbas dari redupnya bioskop di Medan ternyata berpengaruh sangat signifikan terhadap industri film di dalam negeri.

Fanny Handayani, ketika masih kuliah di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara (USU), pernah menulis Sejarah Bioskop di Kota Medan dalam skripsinya. 

Penggalian data yang dilakukannya dari berbagai sumber, bioskop ternyata sudah berkembang di Kota Medan sejak  tahun 70-an, dengan hadirnya Bioskop Deli di Jalan Perdana Medan, Riix Bioskop, Bioskop Capitol, Bioskop Morning, Orion Bioskop, Riu Bioskop, Bioskop Medan, Caty Bioskop, Orange Deli Bioskop dan Olimpia Bioskop.

Saat itu kondisi gedung bioskop masih sederhana dan tidak luas. Namun demikian, kehadiran bioskop berhasil menarik perhatian masyarakat pada masa itu. Bahkan, bioskop tidak pernah sepi dari penonton.

Sementara di tahun 80-an, bioskop  sudah berdiri di lahan sendiri dan tidak bergabung dengan bangunan lainnya. Bioskop juga telah memulai membuat iklan tentang penayangan jam tayang dan juga melakukan tayangan perdana bagi film-film baru yang ditayang pada tengah malam.

Dengan diadakannya iklan dan pemutaran perdana membuat masyarakat penasaran dan akhirnya berbondong-bondong datang ke bioskop.

Untuk mengundang masyarakat datang ke bioskop, biasanya setiap sore sekitar jam 15.00 WIB akan ada mobil yang seluruh badan mobil ditutup poster film yang akan diputar.

Dengan pengeras suara, seseorang yang berada di dalam mobil menginformasikan judul film, pemainnya serta sutradaranya. Kalimat “Hadirilah beramai-ramai pemutaran film Indonesia terpanas tahun ini” menjadi hal biasa pada masa itu.

Fanny Handayani, menyebutkan, di tahun 80-90-an bioskop banyak memutar film asing, seperti film Tamil atau film India, film Barat dan Film Malaysia. Film-film ini juga disaingi oleh film-film nasional.

Menurut pengamat perfilman yang juga sastrawan Kota Medan Idris Pasaribu, bioskop adalah tempat pertunjukan yang diperlihatkan dengan gambar (film) yang disorot sehingga dapat bergerak.

Bioskop adalah salah satu sarana hiburan yang memiliki peranan dalam membantu perkembangan masyarakat di Kota Medan. Bioskop telah banyak mengalami perkembangan selama tahun 1970 hingga tahun 1990-an, baik itu mengenai kondisi fisik secara material maupun mengenai perkembangan perfilman.

“Bioskop terakhir yang pernah saya kunjungi adalah Astanaria di Medan Baru. Pada waktu itu saya bertugas sebagai petugas penjual karcis masuk,” kata Idris Pasaribu.

Bioskop yang masih segar di dalam ingatan Idris Pasaribu adalah bioskop Juwita, Nasional, Golden, Majestyk, Deli, Ria, Olympia, President, Emphire, Cathay, Perisai dan bioskop lainnya yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi.

Gedung bioskop yang dulu menjadi primadona sekarang telah beralih fungsi menjadi rumah toko dan pusat perbelanjaan.