PADA tanggal 06 Juni 2008 saya berkesempatan berdiskusi membahas Aceh dan duduk satu meja dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden RI.  Saat itu  Kalla didampingi Prof. Dr. Djohermansyah Johan yang kini menjabat Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah.   Saya sendiri waktu itu merupakan pegawai Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi NAD-Nias (BRR NAD-Nias) bersama Teuku Rafli Pasha diajak mendampingi Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menghadap Wakil Presiden RI. Kini Kalla yang sangat piawai dan cerdas berdiplomasi merupakan salah satu arsitek dibalik Perdamaian Aceh yang mengakhiri konflik RI - GAM ini terpilih kembali sebagai Wakil Presiden RI ke – 7 mendampingi Joko Widodo DAN dilantik oleh MPR RI pada tanggal 20 Oktober 2014 dan merupakan Wakil Presiden RI satu-satunya yang terpilih 2 kali dalam sejarah Republik Indonesia.

Sembari membawa buku notes kecil Kalla mencatat beberapa point penting diskusi hangat. Penulis sempat melihat buku notes kecil Kalla berisi coretan-coretan dan gambar peta Aceh yang strategis di selat Malaka dan berbatasan langsung dengan negara luar. Kalla sepertinya menyadari betul letak Aceh yang sangat strategis dengan rakyatnya yang bangga dengan sejarah kejayaan masa lalu.

Menurut Kalla ini merupakan suatu kekuatan untuk Aceh bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi masa lalu akibat konflik yang berkepanjangan dan musibah tsunami Aceh yang mendunia. Kalla juga sadar betul persoalan utama konflik Aceh adalah persoalan ketidakadilan dan ketidakmakmuran, walaupun Aceh memiliki letak geografis yang sangat strategis di selat Malaka dan sumberdaya alam yang melimpah.

Karena itu ketika menjadi Wakil Presiden RI dalam suatu lawatan kenegaraan menuju India, Kalla secara khusus pernah singgah (transit) di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) Banda Aceh. Kalla memberikan isyarat bahwa Bandara (SIM) layak dijadikan bandara transit khususnya untuk pengisian bahan bakar pesawat yang menghubungkan berbagai kawasan di belahan dunia. Karena nun jauh dilangit sana, setiap hari puluhan pesawat dari berbagai belahan dunia melintasi wilayah udara Aceh.

Demikian juga halnya selat Malaka, setiap harinya puluhan kapal besar melewati dan harus antri mengisi bahan bakar dan bongkar-muat di Singapura, mereka enggan singgah di Pelabuhan Sabang, dengan berbagai alasan. Kiranya Bandara SIM dan Pelabuhan Sabang layak dipersiapkan menjadi pelabuhan internasional alternatif setelah Singapura untuk pengisian bahan bakar, air dan logistik lainnya sebagaimana diwacanakan Kalla.

Kalla juga mewacanakan pemanfaatan lahan-lahan tidak produktif menjadi lahan-lahan produktif di Aceh melalui penanaman tanaman kehutanan dan perkebunan yang memiliki prospek dan nilai ekonomi tinggi. Menurut Kalla kegiatan ekonomi ini memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap ekonomi negara serta mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengatasi persoalan pengangguran.

Pemerintah Aceh dibawah kendali Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah harus bekerja keras bahu-membahu meraih kembali kejayaan masa lalu dan berjihad melawan ketidakadilan dan ketidakmakmuran seperti yang disampaikan Kalla. Selain itu Aceh juga harus membuka kembali akses hubungan dan kerjasama yang saling menguntungkan dengan negara-negara tetangga dengan Sabang sebagai etalase (gate way) Indonesia sesuai amanah UU No.37 tahun 2000 dan No.11 tahun 2006.

Diplomasi ala Jokowi - JK

Diplomasi ala Presiden terpilih Jokowi - JK perlu diappreasiasi dan baik dicontoh dalam kehidupan berdemokrasi dan membangun bangsa, termasuk Aceh. Pasangan Jokowi – JK dalam tekanan politik yang sangat kuat antara pro dan kontra pasca pilpres berhasil membangun dan membuka komunikasi baik dengan kawan maupun lawan politiknya. Bahkan tidak tanggung-tanggung Joko Widodo yang pernah bekerja di Kabupaten Aceh Tengah ini mengajak duduk di meja makan bersama atau bahkan bersilaturahmi dengan lawan politiknya untuk menyelesaian kebuntuan yang dihadapi.

Hal yang sama juga ditunjukkan mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Mata dunia tercengang dengan sikap Nelson Mandela yang pernah dipenjara dan disiksa lawan politiknya ketika berkuasa. Nelson Mandela tidak dendam pada lawan politiknya malah merangkulnya guna membangun Afrika Selatan seperti yang diharapkan bersama. Kini sang Peraih Nobel Perdamaian dan warga negara kehormatan pada berbagai negara ini telah tiada dan selalu dikenang masyarakat dunia.

Demikian juga halnya dengan Aceh, berbagai persoalan dan dinamika politik yang terjadi selama ini harus diselesaikan secara diplomatis dan mengedepankan cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan sesaat dan tujuan politik elit tertentu. Persoalan ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi khususnya di Aceh bagian tengah dan Aceh bagian barat selatan harus diatasi pemerintah dengan membangun kembali komunikasi dua arah baik dengan kawan maupun dengan lawan politik dalam koridor membangun Aceh masa depan yang lebih baik sehingga terciptanya kestabilan politik.

Kestabilan politik merupakan salah satu prasyarat untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya investasi di Aceh. Mustahil investor akan masuk berinvestasi dan membuka usahanya di Aceh jika stabilitas politik dan keamanan tidak terjamin. Untuk itu adalah tanggung jawab kita bersama untuk menjaga stabilitas politik dan menjamin keamanan sehingga dunia usaha tumbuh dan berkembang di Aceh sebagaimana yang diharapkan bersama, semoga.. ***

Penulis adalah Pegawai pada Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS)