MEDAN - Permasalahan parenting di Indonesia masih berkutat pada isu ketidakadilan gender yang masih rawan terjadi dalam rumah tangga. Padahal peran ayah dan ibu sama sama penting demi keberlangsungan keluarga yang harmonis yang merupakan tempat tumbuh kembang anak yang sehat secara fisik dan mental. Dalam siaran pers yang diterima, Rabu (20/9/2023), Dosen USU dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Harmona Daulay M.Si menyampaikan hal tersebut saat diskusi membahas Permasalahan Parenting di Indonesia yang bertema 'Smart parenting untuk mewujudkan sensivitas gender dan keadilan dalam keluarga' di Komunitas Rumah Literasi Ranggi di Komplek PWI.
 
Dalam bahasannya Harmona mengungkapkan permasalahan parenting di Indonesia berkutat kepada 4 permasalahan besar, yaitu kekerasan terhadap anak, perceraian, fatherless dan ketidakadilan gender.
 
Dijelaskannya bentuk kekerasan yang terjadi pada anak bisa kekerasan fisik maupun non fisik seperti kekerasan ekonomi bahkan kekerasan religi.
 
"Apapun itu pemicunya tidak ada alasan untuk memukul anak. Tindakan memukul dalam keluarga sangat tidak dibenarkan," ucapnya dihadapan ratusan peserta yang hadir.
 
Masalah gadget dan anak turut diperbincangkan yang kini menjadi salah satu masalah besar dalam rumah tangga. Menurut Harmona anak yang masih berusia 2 hingga 3 tahun tidak dibenarkan untuk aktif bermain dengan gadget.
 
"Jika pun telah terlanjur maka tidak boleh lebih dari satu jam," paparnya.
 
Orang tua juga harus hadir untuk mengetahui dan mengawasi apa yang ditontonnya dalam perangkat elektronik smart phone oleh anak-anak. 
 
"Memberikan gadget kepada anak itu harus punya batasan waktu. Bisa juga memberinya itu seperti sebentuk reward, jangan jadikan gadget untuk anak itu sebagai teman bermain," imbuhnya.
 
Masalah ketidakadilan gender rawan terjadi dalam rumah tangga. "Hubungan perempuan dan laki laki itu ibarat kepala dan leher. Posisi kepala tentu saja tidak bisa digantikan oleh leher, begitu juga sebaliknya," katanya.
 
Namun begitu dalam urusan domestik budaya patriarki begitu kuat mempengaruhi. Sterotip laki-laki bertanggung jawab terhadap urusan nafkah, sedang peran domestik yang meliputi urusan dapur dan mengasuh anak dijalankan oleh istri kerap memicu ketidakadilan gender.
 
Peran perempuan sebagai ibu rumah tangga telah menempatkan perempuan sebagai seorang yang memiliki kewajiban untuk melahirkan anak, menjaga rumah dan patuh kepada suami.
 
Dikatakannya sejak kecil anak perempuan sudah dibiasakan untuk bertanggung jawab mengurus hal yang menyangkut rumah tangga seperti membersihkan rumah, mencuci dan memasak. Sedang anak laki-laki hanya diminta melakukan hal hal tertentu atau cendrung diberikan kebebasan.
 
"Kita bisa melihat dalam buku bacaan, Ibu sedang memasak di dapur, Wati membantu ibu, Budi bermain bola. Itu adalah cermin ketidakadilan gender yang sudah membudaya di tengah masyarakat," tambah Harmona.
 
Pada sesi kedua Dosen Fakultas Hukum USU Dr Detania Sukarja SH, LLM membawa materi menjadi orang tua yang mengerti hukum.
 
Detania memeprkenalkan berbagai berbagai peraturan dan regulasi Undang-Undang yang harus diketahui oleh para orang tua.
 
"Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sejatinya hak asasi manusia melekat dalam setiap diri pribadi tanpa terkecuali, termasuk dengan anak," jelasnya.
 
Undang-Undang Dasar 1945 mengatur dengan tegas hak asasi manusia yang dimiliki oleh seorang anak sesuai dengan Permana 2022.
 
Adalah perlindungan anak bersifat perundangan yakni perlindungan di bidang hukum publik dan bidang hukum sipil. Yang kedua adalah perlindungan anak yang bukan bersifat non yuridis, yaitu perlindungan dalam bidang sosial, kesehatan dan pendidikan.
 
Detania juga memperkenalkan UU nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas.Berikut juga tentang UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Segudang aspek hukum termasuk tanggung jawab perlakuan anak yang diemban orang tua menjadi bahasan yang menarik. Berikut juga tentang anak dibawah umur yang berkonflik dengan hukum yang belakangan ini sering terjadi di tengah masyarakat.
 
Acara diskusi semakin menarik ketika para peserta menanyakan berbagai aspek hukum yang terjadi di tengah masyarakat.
 
Seorang peserta seminar laki-laki bernama Martin menanyakan apa hak hukum orang tua yang terlantar juga menjadi tanggung jawab anaknya?
 
Detania berujar tidak ada hak hukum orang tua kepada anak. 
 
"Hak hukum itu tidak berlaku timbal balik, Hak anak kepada orang tua adalah tanggung jawab moral, hukum yang tidak tertulis yang berlangsung di tengah masyarakat," ujarnya.
 
Ketua Yayasan Rumah Literasi Ranggi ibu Ranggini SE dalam pidatonya mengungkapkan sangat senang dipilih sebagai lokasi PKM Dosen USU.
 
Dimana komunitas Rumah Ranggi umumnya orang tua pekerja merasa tidak terlalu penting karena mereka masih berkutat mencari nafkah.
 
"Karena orang tua laki-laki bekerjanya tidak jelas, ada yang pemulung, pekerja bangunan," ucapnya.
 
"Senang sekali orang tua bisa kita undang, mereka mendapat pencerahan. Apalagi tentang bahasan gadget pada anak yang justru banyak berdampak negatif atas konten di internet," ungkapnya.
 
Ranggini mengatakan kesempatan diskusi tersebut menjadi sebuah pencerahan bagi orang tua yang berada dalam Komunitas Rumah Literasi Ranggi.
 
"Ini adalah momen pencerahan menjadi orang tua yang cerdas melakukan pola asuh. Orang tua punya kewajiban, anak-anak punya hak dan dijamin oleh UU. Anak-anak tidak bisa diabaikan, anak anak tidak boleh ditelantarkan. Berharap banyak pihak yang perduli terhadap isu-isu seperti ini," ujar Ranggini.
 
Dalam acara tersebut juga terpilih dua pasangan yang menjadi Duta Parenting karena terlihat begitu aktif bertanya dan mampu menjawab sejumlah pertanyaan yang diberikan.