PALAS - Harga getah karet belakangan ini merosot, para petani karet di Kabupaten Padanglawas (Palas) menjerit. Seperti petani karet di Desa Sabahotang, Kecamatan Barumun Baru tidak punya pilihan untuk mengganti kebun karetnya dengan tanaman lain. Pasalnya, petani tidak punya modal akibat harga karet yang tidak kunjung naik.
 
Joni Harahap (52) petani karet di Desa Sabahotang mengaku, terpaksa bertahan sebagai penyadap karet meski harga karet sekarang hanya Rp 7.200 hingga 9.000 per kilogram.
 
"Kita bertahan mengelola kebun karet, karena belum punya modal untuk mengganti ke tanaman lain seperti kelapa sawit," ungkapnya, Minggu (3/9/2023).
 
Kebun karet ini merupakan pencarian utama keluarganya, sejak nenek, kakek hingga sampai ke dia.
 
Menurutnya, sebagian petani karet di desanya sudah beralih menjadi petani kelapa sawit karena memiliki modal yang cukup.
 
Kata Joni, hampir tujuh puluh persen warga di Desa Sabahotang sudah beralih menjadi petani kelapa sawit, sebagian warga masih mempertahankan kebun karetnya karena tidak ada modal sehingga harga karet murah terpaksa bertahan dengan keadaan.
 
"Sebesar tiga puluh persen lagi, warga di desa ini bekerja mengelola persawahan tanaman padi," ujarnya.
 
"Kalau kami belum sanggup beralih tanaman kebun sawit karena modal untuk numbang karet saja tidak ada," bebernya.
 
Menurutnya, kebun kelapa sawit harus terlebih dulu beli bibit sawit dan pupuk dan lainnya sehingga butuh modal besar. 
 
"Kebun kami pun hanya sedikit cuma 1 hektare. Hanya orang tertentu yang beralih ke sawit, yang punya modal," imbuh Joni 
 
Penghasilan dalam satu kali timbang atau setiap putaran satu seminggu sekali, dengan kondisi pohon karet yang sudah tua, ditambah cuaca panas seperti saat ini, kata Norholila, paling banyak hanya dapat hasil 60-70 kilogram.
 
Tapi hasil itu tidak menentu, karena berpatokan pada berkembangnya daun pohon karet. Ketika daun pohon karet gugur, disitulah getah karet berkurang.
 
"Kadang dapat Rp 500-600 ribu satu kali timbang dalam satu minggu, di toke belum masuk potongan. Belum lagi kita kadang minjam uang sama toke, pas timbang karet harus bayar berapa, tergantung berapa kesepakatan awal waktu kita pinjam duit," katanya.
 
Biasanya, para petani setempat menjual hasil panen getah mereka kepada toke di sekitar desa. Setelah itu, toke menjual ke berbagai pabrik, seperti pabrik di Panompuan, Tapanuli Selatan ataupun ke Kota Padangsidimpuan.
 
Dengan harga seperti saat ini, tentunya petani karet kekurangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan biaya anak untuk bersekolah.
 
Menurutnya, hasil itu cuma bisa memenuhi makan untuk sehari-hari, tidak bisa memenuhi kebutuhan lain.
 
"Kalau harga di atas Rp 10 ribu, paling minim Rp 10 ribu bisa mungkin kita buat untuk simpanan 200 ribuan satu kali timbang. Kalau sekarang langsung habis hasil penen itu," sebutnya.
 
Ia berharap, harga karet kembali seperti 15 tahun yang lalu, yakni Rp 18.000 per kilogramnya.
 
"Sekarang 3 kilogram harga getah karet baru cukup buat beli beras 1 liter, begitulah perbandingannya. Gimana mau menyimpan, semoga harga getah karet bisa kembali seperti 15 tahun yang lalu, Rp18.000 per kilogramnya. Kalau harga segitu kita petani karet bisa menyimpan," tutupnya.