PEMERINTAH membuat regulasi teknis pembelian LPG 3 kg dengan cara mendata dan mencocokkan data pengguna. Tepatnya mulai 1 Januari 2024 hanya pengguna yang telah terdata saja yang boleh membeli LPG 3 kg. Pihak Dirjen Minyak dan Gas Bumi mengatakan kebijakan ini bertujuan agar subsidi yang diberikan pemerintah lebih tepat sasaran atau dinikmati sepenuhnya oleh kelompok masyarakat tidak mampu.
 
Secara normative rujukan kebijakan itu adalah Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 dan Nomor 38 Tahun 2019, LPG 3 kg hanya diperuntukkan bagi rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan LPG 3 kg untuk memasak, nelayan sasaran, dan petani sasaran. 
 
Sebagai tindak lanjutnya, telah diterbitkan Keputusan Menteri ESDM No 37.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Petunjuk Teknis Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas Tertentu Tepat Sasaran dan Keputusan Dirjen Migas No. 99.K/MG.05/DJM/2023 tentang Penahapan Wilayah dan Waktu Pelaksanaan Pendistribusian Isi Ulang Liquefied Petroleum Gas Tertentu Tepat Sasaran.
 
Kebijakan bawa KTP saat beli LPG 3 kg tersebut berpotensi menimbulkan rangkaian masalah berikut:
 
1. Di era perdagangan digital menggunakan KTP sebagai syarat transaksi rasanya pemerintah sedang menghela teknologi informasi ke masa kegelapan. Transaksi tunai tetapi berbasis KTP fisik itu bersifat anomali dan kontraproduktif dengan efektifitas dan efisiensi perdagangan. 
 
Proses transaksi manual tersebut berpotensi menggiring pola perdagangan ke kembali masa kolonial, serba-tercatat, serba-antre dan negara terlalu banyak intervensi dalam urusan komoditas domestik-privat warga.
 
2. Penggunaan KTP berkaitan dengan keamanan dan pelindungan data probadi, bagaimana pemerintah menggaransi tak bakal ada penyalahgunaan data identitas pribadi warga saat bertransaksi LPG.
 
3. Potensi macet distribusi perdagangan ditandai dengan antrean, jika semua pelanggan LPG harus menyerahkan KTP dan harus dicatat. Atau barcode apalagi yang harus disediakan pemerintah dalam mengurai potensi masalah dalam transaksi LPG 3 kg. 
 
Ketika praktik di lapangan tidak sesederhana yang dipandang pemerintah, sebab itu harus benar-benar dipikirkan ekses kebijakannya, bukan hanya sesaat belaka!.
 
4. Recana pemerintah tersebut belum matang bahkan masih sangat prematur, jika ada masalah siapa yang bertanggungjawab, siapa yang memantau pelaksanaan program dan apa sanksinya jika terjadi pelanggaran? Kesannya pemerintah tak serius dan cuma membuat kebijakan Test the Water!
 
Pertanyaannya, kenapa harus dilakukan test the water? Bukankah publik pasti setuju apabila kebijakan yang diambil pemerintah adalah kebijakan yang propublik? Atau pemerintah sengaja mengambil kebijakan yang tidak benar-benar melindungi publik sehingga harus dilakukan test the water?
 
5. Ekses lain adalah dengan sistem pendataan ini, kemungkinan penjualan gas elpiji 3 kg tak akan sebebas saat ini, dijual di pengecer sampai pelosok gang-gang perkotaan. Gas elpiji 3kg disebut hanya bisa dibeli melalui “sub-penyalur”, dengan pembeli yang membawa KTP. Sebaik apapun rencana ini, kebijakan ini pasti "menyulitkan masyarakat mengaksesnya. 
 
Karena untuk mendapatkan ke pusat, membutuhkan biaya transportasi yang lebih besar". Padahal kebutuhan gas-gas melon selama ini mudah didapatkan di warung-warung kecil, apalagi pedagang dan pembelinya adakah orang-orang kecil.
 
6. Rangkaian proses registrasi mandiri oleh semua masyarakat yang menggunakan LPG, semua pembeli elpiji, harus registrasi, dan tanpa berkonsekuensi, apakah berhak atau tidak? Semua yang melakukan registrasi tersebut masih tetap dapat membeli gas elpiji 3 Kg sampai pemerintah melakukan penyortiran data, sudah menunjukkan kebijakan ini sarat masalah?
 
Penulis adalah
Founder Ethics of Care