MEDAN - Dosen yang melanggar hukum dan etika harus bertanggungjawab secara hukum dan etik. Sebagai pendidik, seorang dosen harus menjadi teladan bagi mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus.

Pernyataannya tersebut diungkapkan Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Andreas Hugo Pareira, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Selain itu, menurut dia, sebagai pengajar, dosen bertugas mendidik dan melakukan transfer ilmu kepada mahasiswa. "Jadi saat dosen melanggar hukum dan etika, ya harus bertanggungjawab secara hukum dan etika," katanya.

Lebih jauh ia menuturkan, seorang dosen juga harus menjaga nama baik almamater. Dan menjaga integritas sebagai ilmuwan dengan menjaga nama baik marwah keilmuannya.

Sebelumnya, dugaan bukti palsu dekan Fakultas Hukum di satu universitas  di Pematangsiantar, Sarles Gultom, di Pengadilan Negeri (PN) Simalungun disebut menjadi perbincangan publik. Dia juga merupakan pengacara dari Kantor Hukum Dr. Sarles Gultom, SH., MH & Partners.

"Dengan memberikan bukti palsu, berarti dia telah melanggar norma hukum. Secara etika juga dosen itu melanggar," kata Andreas Hugo Pareira.

"Perguruan tinggi harus memberikan sanksi yang tegas kepada dosen. Karena perguruan tinggi tempat dosen bertanggung jawab langsung kepada perilaku dosen," imbuhnya.

Apabila yang bersangkutan pegawai negeri sipil (PNS), lanjut dia, maka harus dilaporkan ke tingkatan yang lebih tinggi, yakni Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Apabila pelanggaran itu berkaitan dengan pelanggaran berat.

Namun Sarles Gultom, SH, MH dalam hak jawab yang dikirimnya ke GoSumut.com menyebutkan tudingan bahwa dia memalsukan bukti dalam persidangan perdata Nomor 23/Pdt.G/2022/PN.Sim adalah fitnah yang sangat merugikannya baik materil maupun immaterial."Hingga saat ini tidak ada satupun putusan pengadilan atau keterangan forensik yang mengatakan bukti dalam perkara a quo adalah merupakan bukti surat yang palsu," katanya.*