LELAKI 23 tahun itu tampak bersemangat merapikan letak kursi dan meja sambil mengepul botol kosong air mineral di atasnya. Tumpukan cardboard cups sisa minuman teh tarik dan kopi ia sambar dari atas kursi, lalu digeser ke tong sampah.

Sesekali Mursal, remaja asal Panton Labu, Aceh Utara, ini menyeka keringat di dahi dengan punggung telapak tangan kanannya. Sembari memegang kain lap, bola matanya memelototi meja basah bekas minuman dingin aneka jus.

Tangan Mursal tak berhenti mengusap meja. Tubuhnya membungkuk. Ia terbantu cahaya kuning lampu pijar yang mengelilingi rooftop. Di depan ia berdiri, sinar candra tak berbentuk sabit lagi memancar dari ufuk barat.

 

Kamis itu, 30 Maret 2023, malam telah larut; jarum jam menunjukkan pukul 23.20 WIB. “Saya masih baru bekerja di sini, bang,” jawab Mursal ketika disapa. Ia langsung akrab dan melempar senyum. 

Sekilas bayangan, Mursal menghentikan aktivitas tatkala diajak ngobrol. Bahkan tanpa sungkan, ia membuka “rahasia dapur” majikannya. “Saya dibayar harian, sekitar Rp50 ribu perhari,” ujarnya ramah. Lalu, lelaki junkies ini melanjutkan pekerjaannya.

Di bawah puncak bangunan (rooftop), puluhan tamu datang dan pergi. Tamu-tamu pemburu kuliner ini merapat ke Rex selepas salat tarawih. Selama bulan Ramadan, daerah yang menerapkan syariat Islam ini tak membolehkan rumah makan, kafe dan warung kopi buka di siang hari.

Pada malam harinya, dari tenant-tenant lapak Rex—semua di bawah rooftop—inilah ragam makanan baru bisa diorder. Ada sate matang, nasi goreng, sate padang, sate kacang, bermacam mie goreng dan rebus, nasi ayam penyet, kerang rebus, aneka minuman teh, kopi, dan jus, serta masih banyak lagi.

Hampir semua jenis kuliner ada di Rex. Harganya terjangkau dan bervariatif. Tapi, soal rasa, silahkan datang ke Rex, di kawasan padat Jalan Sri Ratu Safiatuddin, Peunayong.

Saiful Bahri, penjual sate padang di Taman Kuliner Rex, mengaku omzetnya menurun selama bulan Ramadan dan sejak Rex berwajah baru. “Sebelum puasa, biasanya pendapatan kami bisa mencapai Rp600 ribu sampai Rp700 ribu per malamnya,” ungkap Saiful kepada KBA.ONE, Kamis malam. 

Memang, pada malam ke sembilan puasa Ramadan 1444-H, di Rex, pengunjung tak begitu ramai meski ada sesuatu yang berbeda di taman itu. Episentrum jajanan kelas menengah di kawasan pecinan Banda Aceh ini telah bersalin wajah dan semakin menghipnosis. Tampilannya apik dan sedikit memukau.

Ada rooftop jembar dan nyaman di lantai dua sisi barat Rex. Dinding pembatas di lantai atas dan atap pelindung puluhan gerobak makanan di lantai bawah dipasangi kaca bening ukuran sekitar 50 milimeter, mirip rumah kaca. Di bagian tengahnya, arsitek proyek revitalisasi Taman Rex ini menjejalkan konsep atap bergaya topi farmer. Baru di atasnya, di antara dua tiang penyangga, ditempelkan huruf timbul kapital bertuliskan “REX”.

Tapi, sejak Rex dihidupkan kembali dengan nilai kontrak Rp1,8 miliar, sumber dana APBK, banyak keluhan datang dari pedagang. Apalagi pusat jajanan ini manajemennya dikelola pihak ketiga. “Semua ditentukan oleh pengelola, mulai dari menu, sampai tenaga pelayanan,” cerita seorang pedagang yang menyewa lapak di pusat jajanan seluas sekitar 2000 M2 itu.

Konsep bangunan Rex di era kini memang artistik dan futuristis. Bahkan, mungkin, inilah satu-satunya di Nusantara, atau bisa jadi di dunia, taman kuliner yang pernah memiliki seorang “presiden”; namanya Hasbi Burman.

Bagaimana ceritanya? Ya, Hasbi Burman adalah sosok penyair yang merangkap juru parkir di kawasan strategis jantung Ibu Kota Serambi Mekah itu. Lelaki kelahiran Aceh Jaya ini menjadi ikonik sentrum kuliner Taman Rex.

Pada era ’80-an, Don Sapdono, wartawan senior Harian Kompas Jakarta, menahbiskan Hasbi Burman sebagai Presiden Rex. Ini gara-gara selama sembilan tahun lebih Hasbi Burman lalu lalang menjadi juru parkir di kawasan itu.

Wajah Hasbi yang berkarakter keras; rambut tegang bergelombang, kumis dan alis mata yang khas dan tebal (ujungnya menjungkit ke atas), kulit hitam kurus, adalah “etalase” Rex di kala siang dan malam hari di masa itu.

Air muka penulis puisi andal ini akrab di mata dan ingatan setiap pengunjung Rex yang pernah disapanya. “Dialah (Don Sapdono) yang menjuluki saya Presiden Rex dalam tulisannya,” kenang Hasbi Burman, satu ketika, di Kantor KBA.ONE, kawasan Lampu Merah Batoh, Banda Aceh.

Kini, Hasbi Burman tak muda lagi. Usianya telah 68 tahun dan kesehatannya pun kian terusik. Seiring pergumulan waktu, Rex juga berbenah dari tampilan tradisional ke mileneal yang lebih refresentatif.

Tapi, sepertinya, meski bersalin rupa, Rex masih mengumbar menu dan manajemen lawas. Apa kata Hasbi Burman jika ia diminta menukilkan puisi sebagai mantan “Presiden Rex” yang pernah sohor itu? Ah, pasti  puisinya berlumur rasa kecewa! *

Tulisan ini telah tayang di KBA.ONE dengan judul "Rex, Bergaya Futuristis di Era Tanpa "Presiden"" pada Jumat (31/3/2023).-Redaksi.