SETELAH pandemi Covid-19, tak lagi mewabah di Indonesia, mulai bermunculan ragam kegiatan tatap muka di berbagai wilayah—setelah sebelumnya kita hanya bisa “berkumpul” melalui wahana Zoom. Kali ini, sebuah forum bertajuk Sumbu Kebangsaan sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society (NCMS), Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute—mengundang segenap lapisan umat Muslim di Jakarta dalam satu acara prestisius pada Sabtu (18/3/2023), di Ballroom, Djakarta Theater, Jalan MH. Thamrin, Jakarta. Topik yang diangkat pun tak sembarangan, “Spirit Guru Bangsa—Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i—dalam Aspek bernegara masa kini.”
 
Acara diawali dengan pidato pembukaan dari Omi Komaria Nurcholish Madjid (Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society). Dilanjutkan dengan pidato Pembicara Utama oleh KH. Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU), Prof. Dr. Amin Abdullah (Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila/BPIP), dan Yudi Latif, Ph.D. (Nurcholish Madjid Society).
 
Sebagai petinggi Nahdlatul Ulama (NU), KH. Yahya Cholil Staquf atau yang lazim disapa Gus Yahya, lebih banyak menyoroti Gus Dur sebagai “anak kandung” NU. 
 
Ia meyakini betul bahwa Gus Dur memang sedang mempersiapkannya untuk memimpin umat Islam Indonesia—bahkan dunia, sejak dirinya mulai akrab bergaul dengan cucu Hadratusyaikh Hasyim Asy’ari tersebut.
 
Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Amin Abdullah, yang karya intelektualnya turut andil membesarkan kalangan cendekiawan Muslim di Indonesia, lebih banyak melakukan perbandingan setara di antara ketiga Guru Bangsa yang sedang dijadikan topik utama acara. Baginya, hal terpenting yang diwariskan oleh ketiga tokoh besar tersebut adalah, kemampuan mereka menemukan jarum dalam sekam peradaban Muslim dunia. Lalu menjadikan jarum itu wahana untuk menjahit ikatan persaudaraan Islam yang berlandaskan tenggang rasa dan nalar kritis. Dua kecenderungan yang belakangan ini mulai meluntur.
 
Ada pun Yudi Latif, Ph.D., yang merupakan “anak Adicita” dari Cak Nur sejak beliau menjadi Rektor Universitas Paramadina. Yudi yang memang menjadi bagian penting dari arusutama cendekiawan Muslim Indonesia, dengan fasih mengangkat nilai keteladanan yang bisa dipetik dari ketiga mentornya terdahulu itu. Cak Nur misalnya, yang turut melebarkan jangkauan wawasannya pada perkembangan Dunia Muslim global, melalui ceramah dan buku-buku yang ia karang semasa hidup.
 
Usai para pembicara utama tampil berpidato, acara dilanjutkan dengan Temu Wicara Kebangsaan bersama Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A. (Mulia Raya Foundation), Alissa Wahid (Direktur Jaringan Gusdurian), Moh. Shofan (Direktur Program MAARIF Institute), Ulil Abshar Abdalla (Ketua Lakpesdam PBNU), Dr. Phil. Syafiq Hasyim, M.A. (Direktur Perpustakaan dan Kebudayaan, Universitas Islam Internasional Indonesia).
 
Semua pembicara tersebut punya hubungan emosional yang erat dengan Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i. Namun yang paling menarik disimak yaitu paparan dari Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, putri sulung Gus Dur. 
 
Ia tak sekadar melanjutkan trah Jombang, namun melestarikan apa yang telah dipancangkan oleh buyut, kakek, dan ayahnya bersama NU dan kiprahnya dalam seabad. Alissa menukil ucapan seorang ulama sepuh yang juga karib Gus Dur, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus), “Dalam banyak hal, saya dan Gus Dur itu nyaris sama, kecuali berkenaan dengan keberanian.”
 
Itulah kata kunci perjuangan tiga Guru Bangsa kita yang mulia. Mereka tak hanya menguasai keilmuan Islam secara mumpuni, disiplin pengetahuan modern, tapi membekali dirinya dengan keberanian yang tanpa tedeng aling-aling. Siapa saja dan dari golongan mana pun, jika harus dibela, maka mereka tak segan untuk membela, dengan segala pertaruhannya.
 
Sebagai sesama aktifis perempuan, Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A., menyoroti Gus Dur dalam bingkai feminisme yang menjadi lokus utama pergerakannya bersama Mulia Raya Foundation. Menurut Musdah, kaum muslimah Indonesia masih belum mendapatkan hak mereka yang sesungguhnya dalam komunitas Islam. Inilah pekerjaan rumah yang mesti segera dibereskan oleh Sumbu Kebangsaan.
 
Sejatinya, forum ini terinspirasi dari teladan pemikiran Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafi’i, demi mengurai dan menjawab berbagai persoalan pada masa kini: teknologi, sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan, kesehatan, politik, hukum, sosial, dan budaya. 
 
Indonesia memerlukan terobosan gagasan untuk memunculkan para pemikir baru dari kalangan muda, untuk menjawab banyak persoalan yang mendera bangsa ini.
 
Kita menyadari, disrupsi teknologi dan kemajuan pesat ranah digital, sangat memengaruhi cara berpikir serta corak keberagamaan masyarakat Muslim di Indonesia. Tak ayal, kita harus pandai, cermat, dan bijaksana dalam menggunakan media sosial agar tidak terjerumus dalam menyebarkan kabar bohong dan kebencian, yang berpotensi menyulut perpecahan. 
 
Para pelajar dan santri harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi agar lebih berdaya. Masyarakat harus meningkatkan kapabilitas dan kapasitasnya di bidang sains dan teknologi supaya bisa bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia kiwari.
 
Seperti yang sudah digagas Cak Nur dalam buku magnum opusnya, Islam Doktrin Peradaban, maka sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpeluang memimpin laju tujuh miliar umat manusia, yang saat ini sedang bersiap tinggal landas memasuki era baru yang lebih terbuka, menantang, dan sarat problematika, yang nyaris belum pernah ada presedennya. 
 
Penulis adalah Dirut Khatulistiwa Muda