TAK berlebihan kalau disebut bahwa majelis hakim pengadilan negeri (PN) Jakarta Selatan hari ini akan melahirkan putusan yang sangat penting. Vonis yang akan berdampak luas, yang akan mengirimkan pesan krusial ke segala arah. Khususnya, arah reformasi kepolisian. Hari ini Ferdy Sambo akan mendengarkan kesimpulan majelis hakim: apakah dia akan menghadapi regu tembak atau hanya menjalani “hukuman ringan” berupa kurungan penjara seumur hidup.
 
Diskursus di tengah masyarakat tentang hukuman apa yang harus dijatuhkan kepada Sambo, berlangsung sengit. Ada yang berteori bahwa hukuman yang bukan hukuman mati regu tembak, tidak akan menimbulkan efek jera. Pendapat ini didasarkan pada fakta kesewenangan Sambo dalam melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yoshua.
 
Sambo menyalahgunakan kekuasaan sebagai kepala divisi Propam. Dia melibatkan banyak bawahan struktural atau bawahan kepangkatannya untuk menghilangkan jejak sebagai pelaku pembunuhan. Karena itu, hukuman mati di depan regu tembak akan mengirimkan pesan keras kepada semua anggota Polri, terutama para pejabat tingginya, agar jangan pernah bertindak sewenang-wenang.
 
Ada alasan lain mengapa Sambo sebaiknya menghadapi regu tembak. Pertama, pembunuhan terhadap Brigadir Joshua dilakukan secara sadis. Ini merupakan fakta hukum yang disampaikan para saksi, baik di tahap penyidikan maupun di ruang sidang. Publik, terutama keluarga korban, melihat hukuman inilah yang bisa memenuhi rasa keadilan.
 
Kedua, hukuman yang lebih ringan dari hukuman mati regu tembak sangat dikhawatirkan akan memberikan peluang kepada Sambo untuk “come back” (tampil lagi). Ini, antara lain, diartikan sebagai kesempatan untuk melakukan hal-hal yang bisa mengancam keselamatan orang-orang tertentu yang dianggap memberatkan Sambo.
 
Ketiga, hukuman seumur hidup – apalagi cuma hukuman penjara sekian belas tahun— sangat mungkin akan memberikan kesempatan kepada Sambo untuk bebas dari penjara jauh lebih cepat dari vonis.
 
Untuk alasan kedua dan ketiga ini, publik berpendapat Sambo adalah seseorang yang dianggap masih memiliki pengaruh yang kuat di Polri meskipun dia sudah dipecat. Anggapan ini sangat valid. Sebab, Sambo selama bertahun-tahun telah membangun jejaring mafia lewat posisinya sebagai kepala satuan tugas khusus (Satgassus) Merah Putih yang memiliki kewenangan besar.
 
Satgassus memang sudah dibubarkan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tak lama setelah diketahui pembunuhan berencana Brigadir Joshua yang didakwakan kepada Sambo. Tetapi, ada keyakinan bahwa Sambo masih menjadi figur kuat di Polri hingga hari ini.
 
Setelah perbuatan sadis Sambo terungkap dan bersamaan dengan itu terbongkar pula jaringan mafia yang dia bangun di Polri, rakyat menuntut agar Kepolisian melakukan reformasi total. Hukuman mati regu tembak untuk Sambo akan menjadi salah satu “drive” (dorongan) reformasi total itu.
 
Pembunuhan berencana oleh seorang perwira tinggi berbintang dua dan berjabatan sebagai kepala divisi polisinya polisi, tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk memberikan keringanan. Majelis hakim tidak memiliki pertimbangan terbaik kecuali “zero tolerance” alias nihil toleransi.
 
Sambo pernah menjadi salah seorang penegak hukum tertinggi di negara ini. Predikat itu dia injak-injak sendiri. Dia kotori sampai ke titik ekstrem. Dia rusak reputasi Polri dan para koleganya.
 
Hukuman seumur hidup berpeluang untuk diutak-atik penafsiran dan statusnya. Pengertiannya bisa beraneka ragam dan statusnya bisa diubah oleh kekuatan tertentu atau perubahan sosial-politik.
 
Bila ini terjadi dan Sambo bisa “berkuasa” kembali, maka dampaknya akan sangat besar. Sambo boleh jadi akan memainkan pengaruhnya jika, sebagai contoh, dia bebas dalam 10 tahun mendatang. Banyak orang percaya dampak negatifnya sangat besar. Boleh jadi, akan ada lagi Sambo-Sambo lain yang merasa enak melakukan pembunuhan berencana dan enak pula menjadi pembesar mafia. Polri bisa hancur berkeping-keping.
 
Bagaimana kalau Sambo dihukum mati? Apa dampaknya? Para pakar pidana dan publik pada umumnya yakin hukuman terberat ini akan menimbulkan dampak positif di semua lini. Aparat penagak hukum, misalnya, akan berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan besar –termasuk pembunuhan berencana.
 
Jadi, kita sekarang menunggu PN Jakarta Selatan. Apakah mereka memilih dampak negatif atau dampak positif. Kedua-duanya akan besar.