PASCA Reformasi 98, setelah Indonesia dilanda berbagai krisis, mulai dari krisis keuangan, ekonomi kemudian krisis multi-dimensi, barulah pada tahun 1999, tepatnya pada tanggal 5 Maret, Hukum persaingan usaha (competition law) diterbitkan, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Bagi Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU No. 5/1999, tujuan keberadaan hukum persaingan usaha adalah untuk: a) menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b) mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat; c) mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan d) terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Siapapun yang mengamati ekonomi Indonesia pada tahun-tahun sebelum lahirnya gerakan reformasi 98, menyatakan ekonomi dikendalikan oleh negara. Buku-buku yang terbit pada tahun-tahun kejayaan Orde Baru misalnya banyak berisi kritik terhadap model pembangunan yang dikendalikan oleh negara.

Orde Baru dengan pilihan sadar memberi perlindungan bagi perusahaan atau kelompok tertentu yang mampu menciptakan lapangan kerja. Desain pembangunan yang berorientasi pertumbuhan inilah yang melahirkan banyak pelaku usaha yang hanya memburu rente (rent seeker) akibat sejumlah proteksi dan keisitimewaan yang diberikan kelompok usaha tertentu.

Pada intinya, Undang-Undang tersebut dirancang untuk mengoreksi tindakan-tindakan dari kelompok pelaku ekonomi yang menguasai pasar. Karena dengan posisi dominan maka mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan yang menguntungkan pelaku usaha. Sehingga dengan lahirnya Undang-Undang Persaingan Usaha maka akan ada koridor-koridor hukum yang mengatur ketika terjadi persaingan usaha tidak sehat antara pelaku-pelaku usaha.

Dalam perspektif hukum persaingan, pembentukan harga ditentukan oleh mekanisme pasar atau suatu kekuatan tarik-menarik antara permintaan dan penawaran di pasar. Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu. Harga yang kompetitif adalah harga yang berada dalam persaingan sempurna yang disebabkan oleh supply dan demand, tidak ada unsur spekulasi.

Tidak selamanya pembentukan harga berdasarkan mekanisme pasar persaingan sempurna. Adakalanya terjadi suatu peningkatan konsentrasi dalam suatu struktur pasar yang disebabkan oleh beberapa hal yang dapat menimbulkan terjadinya monopolistik, diantaranya adalah pembangunan industri besar dengan teknologi produksi massal (mass production) sehingga dengan mudah dapat membentuk struktur pasar yang monopolistik dan oligopolistik, adanya industri atau usaha yang besar yang memperoleh proteksi untuk memperoleh kemudahan dalam mendapatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, dan sebagainya.

Pada tahap selanjutnya, struktur pasar oligopolistik dan monopolistik tidak dapat dihindarkan. Oleh sebab itu pada negara-negara berkembang dan beberapa negara yang sedang berkembang, struktur pasar yang demikian perlu ditata atau diatur dengan baik melalui hukum persaingan usaha, yang pada dasarnya akan mengembalikan struktur pasar menjadi pasar yang lebih kompetitif.

Industri Minyak Goreng dalam Perspektif Hukum Persaingan
Sesuai dengan hukum pasar, kenaikan harga dapat dipicu oleh mekanisme pasar yang tidak seimbang. Tingginya permintaan CPO yang diakibatkan oleh pertumbuhan industri biodiesel dan naiknya permintaan luar negeri menyebabkan terjadinya kenaikan harga CPO internasional. Hal ini berimbas pada kenaikan harga minyak goreng dalam negeri. Dalam kasus kenaikan harga minyak goreng dari bulan Oktober 2021 hingga akhirnya mencapai Rp.20.000/liter, hukum persaingan akan mengkaji apakah kenaikan harga yang terjadi karena mekanisme pasar yang wajar, atau distorsi pasar yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang anti persaingan.

Dari hasil penelitian KPPU, terdapat konsentrasi pasar (CR4) sebesar 46,5% di pasar minyak goreng. Artinya hampir setengah pasar, dikendalikan oleh empat produsen minyak goreng. Tidak hanya di hilir, struktur industri CPO juga memiliki kecenderungan yang tidak jauh berbeda. Industri besar ini hanya dikuasai oleh beberapa pelaku usaha yang menguasai lahan sawit sekitar 1,5 juta hektar lebih.
Perusahaan-perusahaan besar membentuk holding pada perusahaan induk dan melakukan merger dengan berbagai jalan. Ada dengan menjadi anggota dalam cabang industri yang sama, atau hanya terlibat dalam pemrosesan bahan mentah. Ada juga yang menjadi produsen untuk bahan mentah dan perantara bagi produk atau industri tertentu lain.
Industri sawit dalam negeri melahirkan dampak integrasi vertikal antara kebun dan pabrik pengolahan. Pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan CPO hingga produsen minyak goreng. Dengan besarnya gabungan pangsa pasar tersebut, beberapa perusahaan penguasa pasar dapat memberikan signaling produksi atau harga di pasar.

Terkait hal tersebut, KPPU mencium adanya dugaan kartel dalam industri minyak goreng. Dugaan kartel didasari adanya temuan Selain struktur pasar oligopolis, dugaan kartel muncul ketika terjadi kenaikan harga CPO internasional, pelaku usaha terintegrasi yang mendapat pasokan CPO dari kebunnya sendiri justru tetap mengacu pada harga CPO internasional.

Padahal ini kesempatan buat mereka dapat menawarkan harga jual minyak goreng lebih rendah dari pesaingnya dalam rangka merebut pasar. Yang terjadi, produsen minyak goreng menaikan harga secara serempak menjelang akhir tahun 2021.

Sinyal kartel kedua muncul paska kebijakan HET, dimana terjadi kelangkaan minyak goreng di berbagai tempat, bahkan terdapat dugaan penimbunan sebagaimana temuan satgas pangan di Deli Serdang. Ranah hukum persaingan tidak mengacu pada definisi penimbunan, namun ada pada tindakan menahan pasokan atau mengatur pemasaran dalam rangka mengatur harga. Meski harga di pasar ditetapkan sesuai HET, masih ditemukan harga di atas HET di luar ritel modern, artinya, tindakan menahan pasokan masih efektif dalam rangka mengatur harga di pasar.
Kelangkaan Minyak Goreng

Ketika harga minyak goreng menjadi mahal maka KPPU melakukan pengawasan dari sisi perilaku pelaku usaha, apakah mereka memanfaatkan momentum kenaikan harga bahan baku CPO untuk mengambil keuntungan berlebih. Sementara dari sisi negara, melalui Kementerian perdagangan, dibuat beberapa instrumen kebijakan untuk memastikan harga minyak goreng terjangkau bagi rakyat antara lain dengan skema pembiayaan dari BPDPKS, penerapan kebijakan DMO kepada eksportir CPO sebesar 20 persen dan DPO, penetapan HET, hingga yang terakhir menaikan DMO sebesar 30 persen.

Dengan seperangkat kebijakan tersebut, seharusnya pasokan minyak goreng di pasar akan aman dan terjangkau, namun yang terjadi justru terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar dan antrean panjang konsumen untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai HET tersebut.

Kondisi kelangkaan ini diperparah dengan berbagai perilaku pengusaha yang mencari untung sebesar mungkin dengan melakukan penimbunan minyak goreng, menahan pasokan, menjual minyak goreng dengan syarat dan ketentuan tertentu, mengalihkan minyak goreng HET ke industri, bahkan hasil temuan terakhir, terdapat pengusaha yang membeli minyak goreng dengan harga pemerintah di pasar untuk dijual kembali menjadi CPO dengan harga internasional.

Hari ini, harga minyak goreng untuk konsumen kelas bawah di pasar tradisional masih jauh di atas HET, justru di ritel besar dan modern, konsumen kelas atas bisa mendapatkan harga pemerintah.

Fenomena kelangkaan minyak goreng dan berbagai penyelewengan yang terjadi dapat disebabkan oleh banyak hal. Pertama, kurang tuntasnya koordinasi antara pemerintah dan pengusaha dalam mengimplementasikan Kebijakan kewajiban pasok dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) yang dibarengi dengan penetapan harga atau domestic price obligation (DPO) minyak sawit.

Adanya kelangkaan menandai supplay minyak goreng untuk kebutuhan rumah tangga masih tersendat. Artinya, pemerintah harus memastikan dimana hambatan ketersediaan stok minyak goreng untuk rumah tangga, apakah di produsen atau distributor.

Kedua, perilaku pelaku usaha yang mengambil keuntungan atas kondisi ketidakpastian. Harus diakui disparitas harga antara harga CPO di pasar global dengan CPO domestik, yang bahkan semakin jauh seiring konflik Rusia Ukraina ini, berpotensi menimbulkan berbagai penyelewengan oleh pengusaha seperti penyelundupan dan sebagainya.

Ada beberapa catatan terkait kebijakan permendag itu sendiri, pertama, belum menciptakan arena bersaing yang sama, dalam arti belum tentu semua produsen minyak goreng bisa mendapatkan DMO DPO karena diserahkan pada mekanisme pasar, Kedua, masih belum menyentuh pada konsumen yang paling terdampak, yakni masyarakat bawah dan UMKM.

Ada alternatif kebijakan yang mungkin dapat dipertimbangkan, yakni mengembalikan pada mekanisme pasar, namun dengan meningkatkan pajak eksport, yang pada gilirannya dapat digunakan untuk mensubsidi masyarakat yang paling terdampak.

Ketiga, tercipta disparitas harga yang melahirkan banyak spekulan, pada gilirannya menimbulkan cost tambahan yang cukup besar dalam hal pengawasan terhadap berbagai perilaku penyelewengan. Yang pasti, dari kacamata persaingan usaha, upaya perbaikan industri minyak goreng dari hulu sampai hilir harus segera dilakukan.

*Penulis adalah Kepala kanwil I Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).