BATU BARA - Bayi lahir yang sehat merupakan modal awal untuk menghasilkan sumberdaya manusia (SDM) unggul di masa depan serta terbebas dari masalah stunting. Apalagi di Sumut, kasus stunting jumlahnya masih sangat tinggi, dimana prevalensinya mencapai 30,11% di tahun 2019.

Hal itu disampaikan Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN RI, Safrina Salim, pada kegiatan Penguatan Peran Serta Mitra Kerja dan Stakeholder dalam Implementasi Kegiatan Prioritas Pembangunan Keluarga Melalui Sosialisasi Pencegahan Stunting di Kabupaten Batu Bara, pada Jum'at sore (5/11/2021).

"Stunting yang terjadi pada masa balita merupakan kantong dari berbagai masalah kesehatan, terutama timbulnya berbagai penyakit kronis yang berkaitan dengan gizi yang timbul kelak ketika mereka dewasa. Maka baiknya pencegahan stunting bisa dilakukan di hulu, dengan mempersiapkan perencanaan keluarga kepada remaja sebagai calon pengantin sejak dini," ucap Safrina.

Selanjutnya ia mengatakan, remaja sebagai kelompok usia subur yang dapat menjadi sasaran paling strategis untuk program intervensi gizi prakonsepsi, karena remaja putri adalah kelompok yang siap untuk hamil.

"Lebih efektif jika program intervensi untuk mencegah stunting dilakukan kepada calon penganti. Program intervensi gizi prakonsepsi sesungguhnya dapat dilakukan melalui layanan pra nikah,” kata Direktur Balnak BKKBN RI.

Selanjutnya, Safrina menyampaikan, sunting adalah gangguan tumbuh kembang yang tidak hanya sel tulangnya saja yang terganggu tapi juga sel otaknya yang paling sensitif mengalami gangguan dan hambatan pertumbuhan sel otak.

Jelas Safrina, sel otak yang terganggu tidak mampu bekerja tiga sampai empat jam, tetapi setengah jam saja sudah gagal fokus. Selain itu juga akan mengganggu organ tubuh yang paling penting dan akan mudah terserang penyakit.

"Penyiapan perencanaan kehidupan berkeluarga bagi remaja sebagai calon orangtua, melalui edukasi kesehatan reproduksi (Kespro) dan gizi, sangat berperan penting untuk mengurangi angka stunting di Sumatera Utara," ujarnya.

Untuk diketahui, di Sumut, kasus stunting jumlahnya masih sangat tinggi. Pada 2019, prevalensinya mencapai 30,11 persen, hanya berkurang 2,3 persen dibanding tahun sebelumnya.

Hal inilah mengapa remaja memiliki peran yang sangat penting dalam menurunkan angka stunting di tanah air. Data Riskesdas 2018 menunjukkan, 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus.

Hasil Global Health Survey 2015 menunjukkan, penyebab tingginya angka stunting antara lain karena remaja jarang sarapan, dan 93 persen kurang makan serat sayur buah. Ditambah angka pernikahan remaja di Indonesia masih tinggi, hal ini, kata Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN RI, menyebabkan remaja berkontribusi melahirkan anak stunting.

Sementara itu keynote speaker, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Anshori Siregar, menyampaikan makna dari mars KB, yaitu "putra putri yang sehat, cerdas, dan kuat kan menjadi harapan bangsa".

"Anak-anak kita yang sehat, cerdas, dan kuat, investasi yang sangat berharga bagi bangsa dan negara. Jika anak-anak kita tidak sehat dan tidak cerdas, dan lemah, atau tidak berkualitas, bonus demografi akan menjadi bencana," kata Anshori.

Selanjutnya, ia mengatakan, anak-anak yang sehat dan cerdas, lahir dari ibu yang sehat, cukup gizi dan vitamin.


"Melibatkan remaja dalam penanggulangan stunting menjadi penting dikarenakan remaja berada di garis terdepan dalam inovasi dan sebagai agen perubahan," ujarnya.

Selanjutnya Anshori mengatakan, masalah stunting sesungguhnya dapat dicegah, apabila diberikan kepada sasaran yang tepat.

"Remaja sebagai salah satu kelompok potensial yang perlu juga dilibatkan dalam berbagai program pencegahan stunting," demikian pungkasnya.*