MEDAN - Rektor Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), DR Yanhar Jamaluddin MAP angkat bicara dan menggagas gerakan seribu rupiah untuk warga Kota Medan demi menyelamatkan Lapangan Merdeka sebagai cagar budaya.
Demikian disampaikan rektor menyikapi banding dari Pemerintah Kota Medan dalam hal ini Walikota Medan, Bobby Nasution terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang mengabulkan sebagian gugatan pihak yang menuntut agar Lapangan Merdeka Medan dijadikan cagar budaya, Kamis (9/9/2021).

Menurut rektor, gerakan seribu rupiah ini bukan tanpa sebab. Melainkan untuk membayar investor yang masih bersisa beberapa tahun lagi di lokasi lapangan bersejarah tersebut.

Sebelumnya, akademisi di Kota Medan bersama pengamat lingkungan dan praktisi hukum menggelar dialog interaktif yang membahas masalah baru mengenai Lapangan Merdeka Medan.

Dialog interaktif yang ditayangkan di akun YouTube, AW Sumut Channel, dihadiri Ketua Pusat Studi Sejarah, Budaya, dan Kearifan Lokal UISU, Dr. Dahlena Sari Marbun, M.Ed, Pengamat Lingkungan Jaya Arjuna, pengamat hukum Dr Redyanto SH MH dan dimoderatori Shohibul Anshor Siregar.

Dalam webinar tersebut, para pengamat membahas upaya banding yang dilakukan Walikota Medan Bobby Nasution terhadap Pengadilan Negeri (PN) Medan yang mengabulkan sebagian gugatan pihak yang menuntut agar Lapangan Merdeka Medan dijadikan cagar budaya.

Mengawali webinar, Shohibul Anshor Siregar menyampaikan, Lapangan Merdeka, menurut DHD 45 Sumut, adalah sidik jari proklamasi kemerdekaan 1945, apakah itu hilang begitu rupa, dia pun sangat menyayangkan.

"Ancaman identitas terjadi di situ. Ada ancaman ancaman yang lebih serius terjadi kedepan. Pertama, bagaimana rakyat bisa memahami keutuhan perjuangan bangsa, lalu terjadi pergeseran dari fungsi lapangan itu sedemikian rupa secara lingkungan, dan juga konflik antara civil society yang ingin menjadikannya tetap menjadi warisan sejarah untuk dikukuhkan menjadi cagar budaya nasional," ujar Shohibul.

Sementara itu, Dr Hj Dahlena Sari Marbun, salah seorang akademisi sejarah dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) menjelaskan, lapangan merdeka merupakan memori kolektif warga Medan dan Sumut. Sebab, Medan disebut sebagai Paris van of Sumatra karena bangunannya merupakan adopsi dari Eropa bergaya Prancis.

"Jadi sudah menjadi kewajiban kita untuk memeliharanya, segenap elemen masyarakat termasuk unsur pemerintah," jelas dosen yang sudah 35 tahun mengabdi di dunia pendidikan itu.

Dahlena juga menerangkan, di pusat kota terdapat ruang terbuka yang ditanami pohon trembes (Samnea Saman) yang dibawa dengan sengaja oleh Belanda dari Amerika Latin.

"Lapangan Merdeka menjadi tempat diikrarkannya kedaultan negara Indonesia di Medan, Sumatera Utara," terangnya.

Dahlena juga menyayangkan Walikota Medan Bobby Nasution mengajukan permohonan banding atas putusan PN Medan terhadap Lapangan Merdeka.

"Perintah untuk cagar budaya, tapi nyatanya Pak Walikota (melakukan) banding. Jadi agak berbeda ya. Alasannya (juga) terhalang kontrak Merdeka Walk yang tersisa beberapa tahun lagi dan pemindahan lokasi Merdeka Walk ke kawasan Kesawan juga terkendala Covid 19," ungkap Dahlena.

Sebagai seorang pengajar sejarah, rasa nasionalisme dalam diri Dahlena pun tergugah dengan kondisi ini.

"Apa pertanggungjawaban kita dengan beralihfungsinya lapangan merdeka ini. Bahkan saya dengan Rektor (UISU) pernah diskusi, itu kontraknya belum habis. Itu artinya, dari dasar ilmiahnya, itu investornya mungkin minta ganti rugi. Apa salahnya kita buat gerakan sosial seribu rupiah untuk menetapkan Lapangan Merdeka yang belum merdeka ini," bebernya.

Untuk itu, Dahlena pun akan menginisiasi gerakan seribu rupiah ini untuk menyelamatkan Lapangan Merdeka dan menjadikannya sebagai cagar budaya. Sebab, Lapangan Merdeka ini memiliki sejarah yang harus dipertahankan

Sebagai perjuangannya untuk 'memerdekakan' Lapangan Merdeka, Dahlena membacakan puisi mengenai masalah baru lapangan merdeka tersebut.

"Sudah lepas menjangan luka
Ternyata kaki kena beling
Sudah bebas lapangan merdeka
Mengapa Pak Walikota Banding," cetusnya.

"Kalau berenang jangan tanggung tanggung
Berenang terus sampai seberang
Kalau berjuang jangan tanggung tanggung
Berjuang terus sampai menang," timpalnya.

Di tempat yang sama, Pengamat Lingkungan, Jaya Arjuna mengatakan, sesuai peraturannya RTH (Ruang Terbuka Hijau) di Kota Medan yakni 30 persen. Di mana, 20% dikelola Pemko Medan, sedangkan 10% lagi dikelola masyarakat.

"Bahkan sekarang 0,1 persen," sebutnya.

Bahkan, menjadi tanda tanya bagi Jaya Arjuna mengenai sebuah kasus taman hutan kota, Taman Beringin, yang dialihfungsikan oleh DPRD menjadi ikon kota dan mau dibangun masjid 4 tingkat.

"Dan itu DPRD sudah mengesahkan, sudah mengiyakan, tapi akhirnya kita protes dan itu gagal. Pertanyaan saya, apakah itu sudah dikembalikan? Kalau belum dikembalikan, berarti berkurang lagi luas hutan kota," tandasnya.

Sementara itu, pengamat hukum Dr Redyanto SH MH mengatakan, seharusnya pemerintah kota bersyukur kepada masyarakat yang memberi kuasa dan mengingatkannya dalam gugatan mengenai Lapangan Merdeka.

"Dari akta banding 27 Juli 2021 dan diputus perkaranya (Lapagan Merdeka) pada 14 Juli. Artinya masih dalam tenggang waktu. Hanya saja, keterlambatan memberitahukan banding kepada kita, semuanya menimbulkan tanda tanya. Saya menduga semua ini sudah inkrakh. Ada keterlambatan pemberitahuan. Kegembiraan kita tadi, ini berubah menjadi semangat (kita) lagi untuk berjuang," terangnya.