BARANGKALI sudah merupakan suatu keharusan bagi setiap warga masyarakat mengenal duo sistem hukum dan sistem peradilan, baik yang berlaku secara umum di eropa maupun di Indonesia. Sistem hukum pada prinsipnya adalah bertujuan untuk mengatuhui bagaimana agar dalam masyarakat tidak selalu terjadi konflik (benturan kepentingan) antara satu dengan yang lainnya. Seandainya pun terjadi, maka harus ada cara untuk menyelesaikan konflik tersebut. Nah, cara menyelesaikan ini merupakan ruang lingkup dari sistem peradilan, yang kesemuanya itu masuk pula ke dalam ruang lingkup sistem hukum.


Menurut Profesor RM Sudikno Mertokusumo, pakar hukum perdata dan hukum acara perdata, sistem hukum adalah ketentuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian dan unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan kait-mengkait secara erat.

Sistem hukum merupakan sistem yang abstrak dan terbuka, artinya bahwa sistem hukum itu terdiri dari berbagai unsur yang tidak kongkrit, tidak menunjukkan suatu kesatuan yang dapat dilihat, akan tetapi unsur-unsur itu mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya, serta unsur-unsur lain yang tidak termasuk dalam sistem yang mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur dalam suatu sistem.

Ada beberapa hal penting yang harus diketahui dalm sisitem hukum antara lain: Pertama, sistem hukum yang terdiri atas tiga elemen mandiri, yang meliputi: (a) adanya keseluruah aturan, kaidah dan asas yang dirumuskan ke dalam sistem pengertian; (b) adanya organisasi-organisasai, pranata-pranata dan pejabat-pejabat atau aparat hukum; dan (c) adanya keputusan-keputusan dan tindakan yang konkret, baik dari pejabat hukum maupun masyarakat.

Kedua, hukum sebagai suatu sistem harus berdasarkan kepada delapan asas yang dinamakan “principle of legality”, yang meliputi: (a) suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, yaitu tidak boleh mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc; (b) tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, sebab nantinya tidak bisa dipakai sebagai pedoman dan merusak integritas terhadap peraturan yang akan diberlakukan pada waktu yang akan datang; (c) peraturan-peraturan yang di buat harus diumumkan; (d) peraturan itu disusun dalam rumusan yang mudah dimengerti; (e) sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang bertentangan antara satu sama lain; (f) peraturan yang di buat tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan; (g) tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah suatu peraturan; dan (h) antara peraturan yang diundangkan, harus ada kecocokan dengan pelaksanaannya sehari-hari.

Ketiga, terdapatnya tiga tipe mendasar yang dapat mempengaruhi berlakukunya suatu sistem hukum, yang meliputi: (a) hukum refresif, yaitu hukum yang dijadikan sebagai alat kekuasaan refresif yang tujuan utamanya adalah untuk menciptakan ketertiban.

Tipe hukum ini tidak akan menghasilkan keadilan, karena hukum digunakan sebagai alat kekuasaan oleh penguasa negara, bahkan tipe hukum ini cendrung paranoid, akibat adanya ketakutan-ketahutan yang berlebihan dari penguasa; (b) hukum yang otonom, yaitu hukum yang diwujudkan sebagai institusi yang bebas dari pengaruh masyarakat, tujuan uatamanya adalah untuk melegitimasi berdasarkan prosedur formal sekaligus membatasi diskresi. Dalam mengatasi permasalahan atau konflik di masyarakat, hukum tipe ini cendrung mengedepankan prosedural legalistik, sehingga yang ditampilkan adalah keadilan prosedural belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai dan rasa keadilan di tengah masyarakat secara luas.

Laurence Mei Friedman, soeorang profesor hukum, sejarawan, ahli sejarah hukum Amerika dan penulis buku-buku fiksi dan nonfiksi, membagi unsur-unsur hukum ke dalam tiga jenis, yang meliputi: (a) substansi hukum (Subtance), yaitu isi yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan. Substansi menyangkut semua aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis, seperti hukum materiil (hukum substansif), hukum formal (hukum acara) dan hukum adat; (b) struktur hukum (Structure), yaitu aparat atau pelaksana hukum, peradilan, termasuk pembuat hukum, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim di Pengadilan; dan (c) kultur hukum (culture), yaitu kebiasaan-kebiasaan, adat, budaya atau opini masyarakat. Kultur hukum merupakan gambaran dari sikap dan prilaku masyarakat terhadap hukum, serta keseluruhan faktor-faktor yang menentukan sistem hukum dapat diterima oleh masyarakat.

Sistem Hukum

Sistem hukum yang dianut oleh berbagai negara di dunia senantiasa diikuti pula oleh sistem peradilannya. Secara umum sistem hukum yang berlaku ada dua jenis, yaitu sistem hukum common law dan eropa continental. Sistem hukum common law dianut oleh negara-negara anglo saxon, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia dan negara-negara bekas jajahannya. Sementara sistem eropa continental dianut pula oleh negara-negara di eropa, seperti Belanda, Prancis dan negara-negara bekas jajahannya, termasuk Indonesia.

Perbedaan mendasar dari dua sistem hukum ini pada umunya terletak pada sub sistem peraturannya. Pada sistem common law didominasi oleh hukum tidak tertulis dan harus melalui putusan hakim. Sedangkan pada eropa continental didominasi oleh ketentuan hukum tertulis (terkodifikasi). Kemudian pada sistem common law tidak ada pemisahan yang jelas antara hukum publik dan hukum privat. Sementara pada hukum eropa continental ada pemisahan yang jelas dan tegas antara hukum publik dan hukum privat.

Sistem Peradilan

Akibat adanya dua sistem hukum, maka dikenal pula dua sistem peradilan yang berlaku, yaitu sistem peradilan common law dan sistem peradilan eropa continental. Kedua sistem peradilan ini memiiki cirri khas masing-masing. Pertama, dalam sistem peradilan common law dianut sistem peradilan juri, dimana dalam hal ini hakim bertindak sebagai pejabat yang pemeriksa dan memutuskan hukumnya. Sedangkan juri bertindak untuk memeriksa peristiwa atau kasusnya, kemudian menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa atau pihak berperkara.

Penggunaan juri pada sistem peradilan common law berlaku saat pemeriksan perkara perdata maupun pidana. Juri di pilih dari para tokoh masyarakat setempat, yang notabene belum tentu memiliki keahlian di bidang hukum atau sama sekali bukan sarjana hukum. Para juri sebelum melaksanakan tugasnya terlebih dahulu harus di sumpah, sehingga dapat dipastikan akan bertindak secara objektif. Jumlah juri bilangannya selalu genap, minimal 8 orang dalam persidangan. Sementara itu, metode berfikir para hakim di negara-negara anglo saxon menggunakan metode induktif, artinya berfikir dari yang khusus kepada yang umum. Dasar putusan mereka pada kasus yang konkret, yang berlaku khusus, kemudian diangkat menjadi aturan umum yang dapat berlaku sebagai preseden bagi hakim lainnya dalam perkara yang sejenis. Penggunaan asas preseden itu dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan, sebab dasar untuk memutus perkara yang sejenis adalah putusan hakim sebelumnya.

Kedua, dalam sistem peradilan eropa continental tidak dikenal adanya juri, namun yang akan memeriksa dan memutus suatu perkara adalah hakim yang jumlahnya selalu ganjil dalam persidangan, yaitu antara satu sampai dengan lima orang. Hakim tersebut merupakan hakim yang memiliki kompetensi professional, diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara/kepala pemerintahan.

Hakim dalam sistem peradilan eropa continental tidak selalu terikat pada putusan-putusan hakim terdahulu, walaupun sebenarnya para hakim dimungkinkan untuk mengikuti putusan hakim terdahulu terhadap perkara atau kasus yang sejenis akan tetapi bukan suatu keharusan (bukan sesuatu yang mutlak) untuk selalu mengikutinya. Metode berpikir para hakimnya pun adalah secara subsumtie maksudnya, yaitu metode berpikir dengan suatu upaya memasukkan peristiwa ke dalam peraturannya yang banyak dilakukan dalam perkara pidana. Dengan metode ini suatu peristiwa hukum dicarikan rumusan peraturan perundang-undangan yang dilanggar.

Penulis Anggota DPC Peradi Medan,
Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi KAUM,
Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan Periode 2014-2018.