ORGANISASI Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) hingga saat ini masih terdiri dari tiga kubu, yaitu kubu yang dipimpin oleh Otto Hasibuan, Juniver Girsang dan Luhut MP Pangaribuan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Otto Hasibuan pada 19 Agustus 2021 yang lalu mengusulkan agar diadakan musyawarah (Munas) bersama guna menyatukan kembali (rujuk) tiga kubu organisasi Peradi yang sedang terpecah menuju wadah Singel Bar. Singel Bar dimaksud adalah hanya ada satu wadah advokat yang diberikan kewenangan oleh Undang-Undang (UU) untuk mengatur segala sesutu hal mengenai kepentingan advokat.

Niat tersebut tentu bermuatan atau bernilai positif. Paling tidak maksud dan tujuan dari munas bersama ini dilatarbelakangi pertemuan tiga kubu Peradi pada bulan Februari yang lalu dihadapan Mengko Polhukam Mahfud MD.

Saat itu, ketiga kubu telah bersepakat untuk rujuk, guna menyatukan Peradi. Maksud dan tujuan disatukannya tiga kubu Peradi ini juga tak lepas dari kondisi advokat yang saat ini kualitasnya terus menurun.

Penurunan kulitas tersebut setidak-tidaknya ditandai dua hal, yaitu pertama, adanya surat nomor 73 yang dikeluarkan Mahkamah Agung tentang dibolehkannya calon advokat disumpah Pengadilan Tinggi tanpa diajukan oleh Peradi dan Kedua, adanya perpecahan di tubuh organisasi Peradi itu sendiri.

Sehingga kualitas seleksi advokat menjadi menurun. Secara kuantitas angka lulusannya memang terus menanjak naik, tapi secara kualitas, kapabilitas dan integritas nilainya menurun.

Menyangkut penilaian atau uji kompetensi menuju advokat berkualitas. Penulis memiliki pengalaman betapa sulit dan ketatnya prosedur untuk menapaki karir pada bidang advokat ini.

Selaku anggota yang terdaftar di Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Jalan Sei Rokan Nomor 39 Medan, dibawah kepemipinan Charles P. Silalahi dan DPN Peradi Otto Hasibuan, penulis memulainya pada akhir tahun 2013, dengan cara mengikuti PKPA yang diselenggarakan oleh DPC Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Medan bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU).

Kemudian mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) yang diselenggarakan DPN Peradi, bertempat Hotel Asean Jalan H. Adam Malik Medan pada tahun 2014 dan setelah itu mendapat Kartu Izin Sementara (KIS) Praktik Advokat bernomor: 00881/Peradi-Magang/150214/14 di Kantor Advokat Farid Wajdi, SH M.Hum & Partner dan pada tanggal 27 Mei 2015 secara resmi dilantik atau diambil sumpah sebagai Advokat oleh Ketua Pengadilan Tinggi Medan di Hotel Danau Toba Medan dengan Nomor Kartu Tanda Pengenal Advokat (NKTPA): 15.00432.

Dari seluruh rangkaian, tahapan dan/atau proses ketika itu semuanya memang sejak awal hingga akhir berjalan dengan super ketat. Pendeknya bagi setiap lulusan, pasti ada kebanggan tersendiri ketika diumumkan dan/atau dinyatakan lulus menjadi seorang advokat oleh DPN Peradi. Tidak berlebihan rasanya bila officium nobile (profesi terhormat) itu otomatis melekat dipundak para lulusannya.

Di samping hal itu, tak dapat dipungkiri bahwa perpecahan di tubuh Peradi yang menjadi 3 kubu berdampak terhadap kualitas advokat yang di sumpah, karena tidak sesuai antara kualitas, kapabilitas dan integritasnya. Contoh kecil saja, pada saat pelaksanaaan UPA DPN Peradi Fauzi pernah ada temuan, yaitu adanya peserta ujian yang memalsukan surat tanda lulus PKPA.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagimana dengan UPA di tempat lain? Jika organisasi advokatnya tidak sah, maka para pencari keadilan bisa dirugikan akibat didampingi oleh yang bukan advokat atau lebih ektrimsnya bukan merupakan sarjana hukum.

Perpecahan yang terjadi diinternal Peradi berawal dari langkah Ketua Panitia Pelaksana Munas Peradi Makassar Viktor Waryan Nadapdap yang telah melaporkan Juniver Girsang ke Polda Metro Jaya. Saat itu, Juniver Girsang dilaporkan karena mengklaim diri sebagai Ketua Umum DPN Peradi yang sah, padahal berdasarkan faktanya Munas yang di gelar di Makassar adalah berakhir deadlock.
Oleh karenanya, Viktor Waryan Nadapdap menilai Juniver Girsang yang telah mengkalaim diri sebagai Ketua Umum DPN Peradi tidak mendasar. Sehingga melaporkan Juniver Girsang dengan sangkaan memberi keterangan yang tidak sebenarnya ke dalam akta otentik, sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 266 ayat 1 dan 2 KUHP. Laporan Viktor Waryan Nadapdap tertuang dalam laporan polisi nomor: LP/2287/VI2015/PMJ/Dit.Reskrimum, tertanggal 10 Juni 2015. Sebagi terlapor adalah Juniver Girsang, sedangkan sebagai saksi Yohanis A Raharusun, Sabar Ompu Sunggu dan Iwan Ampulembang.

Perhelatan Akbar atau Munas II Peradi yang digelar di Ballroom Phinisi Hotel Grand Clarion Makassar pada 27 Maret 2015 yang lalu gagal menjadi ajang konsolidasi, sehingga suksesi kepemimpinan tertingi di tubuh organisasi advokat Peradi menjadi anti klimaks. Munas ditunda tanpa dimulai agendanya terlebih dahulu. Sempat di buka, tapi akhirnya ditunda untuk 3 bulan dan selambat-lambatnya 6 bulan, karena alasan atau pertimbangan keamanan yang tidak kondusif.

Akibat ditundanya Munas tersebut, maka tidak ada proses pemilihan Ketua Umum. Meskipun faktanya demikian, kubu Juniver Girsang pada tanggal 13 Mei 2015, tiba-tiba memasang pengumuman di sebuah surat kabar nasional dan mengklaim sebagai pengurus Peradi yang sah serta mencatatkan Peradi yang dipimpinnya ke Notaris Irmawaty Habie.

Lantas apakah perpecahan ditubuh Peradi akan dibiarkan terus-menerus atau mau disatukan? Peradi saat ini berada di simpang jalan, berani rujuk atau tetap bercerai?. Nah, dua pertanyaan besar ini tentu memerlukan jawaban yang konkrit, sehingga ke depan eksistensi Peradi tidak perlu lagi dipertanyakan.

Ada hal menarik sebenarnya dari pernyataan Otto Hasibuan pada 19 Agustus 2021. Menarik karena mengandung nilai harapan dan tantangan. Pernyataan itu pada hakikatnya sudah tepat dan pantas untuk diapresiasi. Hemat penulis pernyatan itu merupakan sebuah sikap kesatria dan gentalman dari seorang pemimpin organisasi advokat yang sudah berpengalaman, justru sikap ini yang sesungguhnyaa ditunggu-tunggu anggota Peradi sejak awal.

Adapun bunyi pernyataan itu sebagai berikut: "bahwa kami sesunguhnya menginginkan agar munas bersama menggunakan AD Peradi yang lama sebelum perpecahan terjadi. Tapi demi tercapainya penyatuan Peradi tersebut, dengan lapang dada kami siap memenuhi keinginan rekan Dr. Juniver Girsang, SH MH dan rekan Dr. Luhut MP Pangaribuan, SH LL.M agar munas dapat dilaksankan dengan cara one man one vote (satu orang satu suara) dan masing-masing mengajukan satu orang calon untuk dipilih dalam munas, serta bagi organisasi Peradi yang calonnya tidak terpilih wajib membubarkan diri termasuk cabang-cabang dan selanjutnya bergabung dengan peradi yang calonnya terpilih jadi Ketua Umum Peradi,".

Sejarah Peradi
Peradi pertama kali diperkenalkan ke tengah masyarakat, khususnya kalangan penegak hukum, yaitu pada tanggal 7 April 2005 di Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Acara perkenalan Peradi, selain dihadiri sedikitnya 600 advokat dari seluruh Indonesia, juga dihadiri Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Menurut ketentuan Pasal 32 ayat (4) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Advokat, Organisasi Advokat harus terbentuk paling lambat dua tahun sejak UU tersebut diundangkan. Dari awal memang banyak pihak yang meragukan para advokat dapat memenuhi tenggat waktu yang dimaksudkan oleh UU tersebut. Namun, pada kenyataanya, dalam kurun waktu sekitar 20 bulan sejak diundangkannya UU Advokat atau tepatnya pada 21 Desember 2004, advokat Indonesia sepakat untuk membentuk Peradi.

Bukanlah sesutu hal yang mudah, kesepakatan untuk membentuk Peradi diawali dengan proses panjang. Pasal 32 ayat (3) UU Advokat menyatakan, bahwa untuk sementara tugas dan wewenang organisasi advokat dijalankan bersama-sama oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesai (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) dan Asosisi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Selanjutnya untuk menjalankan tugas dan maksud tersebut, kedelapan organisasi advokat ini pada tanggal 16 Juni 2003 setuju memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI).

Sebagai bagian dari proses verifikasi, kemudian dibentuk pula sistem penomoran keanggotaan advokat untuk lingkup nasional, yang juga dikenal dengan Nomor Regestrasi Advokat. Selanjutnya, kepada mereka yang lulus persyaratan verifikasi juga diterbitkan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA). Pada masa lalu, KTP diterbitkan oleh Pengadilan Tinggi dimana advokat yang bersangkutan berdomisili. Peluncuran KTPA sebagaimana dimaksud dilakukan pada 30 Maret 2004 bertempat di ruang Kusumah Atmadja Mahkamah Agung RI.

Meski usia Peradi masih belia, namun dengan restu dari semua pihak, Peradi dapat menjadi organisasi advokat yang bebas dan independen, melayani dan melindungi kepentingan para pencari keadilan dan dapat pula menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya untuk melayani para anggotanya.

Nah, kondisi seperti inilah sesungguhnya yang diharapkan dan dirindukan kembali oleh seluruh anggota mengenai keberadaan (eksistensi) organisasi Peradi, bersatu bukan bercerai berai, sehingga dapat menjadi wadah tunggal advokat.

Terakhir, barangkali bukan hanya menjadi harapan penulis, paling tidak sebagian besar advokat di seluruh Indonesia merindukan terwujudnya wadah tunggal advokat. Organisasi bak ibarat payung, baik dia di musim hujan atau pun panas, jika ada satu payung yang dapat mengakomodir dan melindungi serta menjamin semua kepentingan pengguna (user), maka tidak perlu ada banyak payung. Satu payung yang dapat berdiri kokoh dan sempurna, akan menjadi dambaan banyak orang dibandingkan banyak payung, tapi rapuh dan mudah diterbangkan oleh angin, maka ia takkan bernilai apa-apa.

Begitu juga dengan organisasi advokat, bila dari tiga kubu organisasi advokat Peradi bisa rujuk atau bersatu kembali menjadi wadah tunggal, maka organisasi advokat akan disegani kawan maupun lawan. Intinya menurut hemat penulis, jika bicara organisasi profesi maka cukup satu saja, tapi kalau organisasi-organisasi kemasyarakatan, politik dan/atau lainnya, mau banyak, ya monggo (silahkan).

Pendeknya, jika Peradi ingin punya nilai, marwah dan pengaruh yang besar dalam menentukan arah serta mengatur semua hal ihwal kepentingan advokat, maka rujuk menjdi Singel Bar adalah kunci sukses organisasi advokat Peradi atau jika tetap ingin bercerai (berpisah), maka perlu segera dilakukan amandemen atau perubahan terhadap UU Advokat.

 

Penulis adalah Anggota DPC Peradi Medan,
Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi KAUM,
Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan Periode 2014-2018.