KRISIS sekarang ini semakin terasa berat. Semua bisnis terkena imbasnya. Semua penuh dengan ketidakpastian. Ada pelajaran yang menarik ketika krisis karena tsunami melanda Aceh beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu --di Banda Aceh khususnya-- situasi benar-benar dalam keadaan krisis kelas berat. Semua lumpuh secara fisik dan mental.

Pada satu titik penting di sana, kisah ini saya bagikan. Tepatnya di Bandara Sultan Iskandar Muda. Saya berada di bandara ini lewat seminggu setelah tsunami dan mendengar serta membaca kisah-kisah heroisme yang terjadi di Bandara ini.

Bandara ini adalah pintu gerbang utama transportasi ke Banda Aceh, karena jalur darat sebagian rusak berat. Dari bandara ini mengalir bantuan pangan, obat-oabtan, perlengkapan tanggap darurat, relawan dan mobilisasi korban bencana. Dari yang biasanya hanya melayani 6 penerbangan per hari, pasca tsunami, bandara yang terbatas ini pernah melayani 185 pesawat datang dan pergi dalam satu hari. Begitu berhari-hari bahkan berbulan-bulan.

Bukan cuma menerima dan melepas pesawat, tetapi harus mengelola ribuan orang (korban, relawan, bahkan tokoh-tokoh pejabat penting dalam dan luar negeri), cargo/logistik dan banyak lagi dengan semua keterbatasannya. Bahkan dengan lahan parkir pesawat yang sangat terbatas.

Fakta yang ada adalah, landasan pacu sebagian retak, tower pengawas lintas udara rusak parah, sumber energi listrik yang terbatas, terminal dan fasilitas umum yang terganggu. Bukan cuma itu, pegawainya yang semula 60 orang, pada hari itu bisa dihitung jari – tak bisa dihubungi dan tidak diketahui keberadaannya-- (bahkan pimpinan utamanya sedang dalam perjalanan kembali ke Banda Aceh dari tugas di luar kota).

Ini adalah krisis benaran, pegawainya yang sedikit itu pun bekerja dalam keadaan berduka, anak-istri-dan orang tuanya hilang dan meninggal dunia terkena tsunami.

Kerja Mati-matian

Dengan pekerja yang tinggal segelintir, mereka melakukan segala upaya untuk bisa menyelamatkan penerbangan yang sudah terjadwal. Mereka begitu kreatif berusaha membangun jalur komunikasi yang terputus dengan dunia luar. Memastikan semua bisa digunakan walau hanya sementara.

Tak sampai 1 hari, pada pukul 16.40 WIB, bandara ini bisa beroperasi kembali.Pekerja yang terbatas itu saling berbagi tugas. Ada petugas pemadam kebakaran yang bertugas menangani serbuan ribuan pengungsi, yang semuanya ingin terbang. Ada manajer pelayanan yang berinisiatif menjalankan operasional, dan banyak lagi.


Mereka bekerja pagi, siang, malam dalam keadaan berduka, karena keluarganya banyak yang menjadi korban bencana tsunami.

Mereka sadar bahwa ribuan bahkan jutaan warga Aceh bergantung kepada mereka. Mereka bekerja dengan energi yang luar biasa. Energi positif, tanpa mengeluh, tanpa saling menyalahkan, tanpa menuntut, hanya keikhlasan adanya.

Profesional

Saya melihat di sinilah kata profesional berlaku. Mereka bekerja dengan goal bersama. Tidak egois dan tidak mau menang sendiri.

Di sini saya menemukan fakta terbalik. Tidak ada yang berkata, “Saya profesional, saya bekerja begini dapat apa?” Tidak ada yang berkata, “Saya profesional, saya hanya mengerjakan bagian saya, bagian lain itu bukan tanggung jawab saya”. Tidak ada yang berkata, “Saya profesional, semestinya manajemen kantor pusat lebih banyak memberikan bantuanlah."

Mereka bekerja dalam kepedihan yang mendalam, belum lagi menangani keluhan ribuan orang dengan sarana yang sangat terbatas.

Mereka bekerja sebagai bentuk ibadah dan pertanggungjawaban profesionalisme yang dalam.
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda berlaku profesional dalam merespons krisis ini?

*Penulis adalah Business Coach dengan spesialisasi bisnis keluarga.