SAMOSIR - Parsadaan Pomparan Raja Nai Ambaton (Parna) se-Indonesia menganggap peresmian situs prasasti Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Sijambur Mula Toppa, Pusuk Buhit, tidak sah. Hal ini sebagaimana surat Nomor : 01/7-2021/PP/PPI tertanggal 23 Juli 2021, yang diterima Gosumut, Sabtu (24/7/2021).

Surat yang ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Parna Indonesia, Cornel Simbolon, MSc dan Sekretaris Umum, DR. Martuama Saragi itu ditujukan kepada Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom dan menyampaikan bahwa pengurus parsadaan Parna sebagai wadah resmi perkumpulan bagi semua marga-marga dan popparan 52 marga dari Raja Nai Ambaton, dengan sangat menyesal menyampaikan keberatan dan menolak dengan tegas atas telah diresmikannya situs Parhutaan Tuan Sori Mangaraja di Pusuk Buhit pada tanggal 5 Juli 2021 lalu.

Adapun dasar keberatan dan penolakan, menyangkut tulisan prasasti yang berisikan "Dengan bangga kami resmikan Situs Parhutaan TUAN SORI MANGARADJA-SIBORU PARSANGGUL NABOLON-SIBORU BASO GURNING dan anak-anaknya SORBANIBANUA, SORBANIJAE, SORBANIJULU, SORBANI MANGGALA, NAIRASAON, NAISUANON, NAIBULUNGTUA, NAIAMBATON sebagai destinasi baru wisata edukasi leluhur Batak dan menjadi bagian dari Geopark Nasional Kaldera Toba yang kini diterima dunia menjadi keluarga besar Geopark Global Network Unesco di pinggang timur Pusuk Buhit, sang KM Nol Tanah Batak".

Tulisan selanjutnya, "Kami mengajak semua anak bangsa untuk datang melakukan wisata edukasi leluhur Batak sekaligus merawat dan mengembangkannya dalam semangat manjou mulak mata Mual".

Selain itu, dibawah tulisan itu terdapat tulisan "Sijambur Mula Toppa, Situs Tuan Sorimangaraja, Pusuk Buhit, Samosir, 5 Juli 2021 lengkap bertandatangan dengan nama, oleh Vandiko T. Gultom beserta 10 orang lainnya".

Juga, dibagian atas prasasti, ada gambar dalam lingkaran dan dibawahnya tertulis manjou mulak mata Mual.

Menurut pengurus Parna Indonesia, setelah peresmian, sambutan Bupati Kabupaten Samosir dan sambutan dari Hinca Panjaitan dan fakta diatas telah tersebar luas di berbagai media sosial, termasuk di laman website samosirkab.co.id yang merupakan website resmi Pemerintah Kabupaten Samosir, telah menuai berbagai respons dari kalangan masyarakat luas.

Dan yang menjadi alasan atas keberatan dan penolakan Pomparan Parna Indonesia adalah silsilah yang tertulis dalam situs prasasti Tuan Sorimangaraja. Dimana, Hinca Panjaitan menyampaikan, bahwa Tuan Sorimangaraja mempunyai 2 isteri dan 8 orang anak, adalah tidak benar.

Diutarakan, sesuai dengan pesan dari orangtua dan nenek moyang Pomparan Parna serta tulisan dalam buku-buku yang ada, bahwa Tuan Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri dan hanya 3 orang anak dengan urut-urutan kelahiran (Partubu) sebagai berikut:

1. Isteri pertama bernama Siboru Anting Sabungan/Siboru Anting Malela, melahirkan anak bernama Ambaton/Si Ambaton dengan gelar Tuan Sorba Dijulu. Juga dipanggil Nai Ambaton.

2. Isteri kedua bernama Siboru Biding Laut, melahirkan anak bernama Rasaon/Si Rasaon dengan gelar Tuan Sorba Dijae. Juga dipanggil Nai Rasaon.

3. Isteri ketiga bernama Siboru Sanggul Haomasan, melahirkan anak bernama Suanon/Si Suanon dengan gelar Tuan Sorba Dibanua. Juga dipanggil Nai Suanon.

Penulisan nama Tuan Sorba Dijulu dan Nai Ambaton dalam situs prasasti, seolah orang yang berbeda. Padahal, dua nama itu adalah orang yang sama.

Selanjutnya, penulisan silsilah yang salah dalam situs prasasti telah menimbulkan polemik besar ditengah-tengah masyarakat khususnya ditengah keturunan Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton yang bisa menimbulkan konflik antar marga keturunan Tuan Sorimangaraja.

Pengurus Parna menyebut, seharusnya penentuan lokasi situs prasasti adalah berdasarkan hasil musyawarah (Martonggo Raja) antar keturunan Tuan Sorimangaraja dan harus didukung oleh kajian atau penelitian dari lembaga budaya yang sah.

Diungkapkan, sedangkan penentuan lokasi situs prasasti itu tidak atau belum pernah dimusyawarahkan oleh sesama keturunan Tuan Sorimangaraja. Dengan demikian, lokasi itu tidak sah.

Menurut pengurus Parsadaan Parna, penentuan lokasi dan peresmian tidak sah dikarenakan tidak sesuai dengan prinsip dasar adat Batak, yaitu Dalihan Natolu "Somba Marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu".

Ditegaskan kembali, dengan demikian peresmian situs prasasti Parhutaan Tuan Sorimangaraja di Pusuk Buhit tidak sah.

Pengurus Parna Indonesia juga menilai, bahwa saat peresmian situs prasasti itu, Bius Sitolukkae Horbo sama sekali telah diabaikan.

Pengurus Parna Indonesia juga mempertanyakan, bahwa sesuai dengan sambutan Bupati Kabupaten Samosir dan sambutan Hinca Panjaitan yang menyebut kegiatan peresmian prasasti Tuan Sorimangaraja adalah atas inisiatif komunitas Ruma Hela.

"Apakah komunitas Ruma Hela mempunya hak atau wewenang dalam pembuatan atau pembangunan prasasti ?," tanya pengurus Parna Indonesia.

Disampaikan, hal itu menyangkut sejumlah marga-marga lebih dari 80 marga keturunan Tuan Sorimangaraja mulai dari Nai Ambaton, Nai Rasaon, Nai Suanon yang berarti sudah memiliki puluhan ribu rumah tangga.

Dalam surat, juga mempertanyakan apakah kegiatan peresmian prasasti Tuan Sorimangaraja diketahui atau disetujui oleh DPRD Kabupaten Samosir?, karena peresmian prasasti merupakan kegiatan budaya yang menyangkut kebiasaan atau tradisi masyarakat adat di Kabupaten Samosir.

Padahal lanjut pengurus Parna Indonesia, sebagian besar masyarakat Kabupaten Samosir adalah keturunan Tuan Sorba Dijulu atau Nai Ambaton.

Dengan demikian, pengurus Parna Indonesia menilai proses kegiatannya telah mengabaikan adat istiadat yang hidup di masayarakat Batak.

Dinilai, bahwa proses peresmian justru tidak mengedukasi, malah mengaburkan adat Batak dan membelokkan silsilah Tuan Sorimangaraja karena yang menandatangani prasasti adalah Bupati Samosir, Vandiko Timotius Gultom bersama-sama dengan 10 orang lainnya.

Atas penandatanganan, pengurus Parna Indonesia juga mempertanyakan, apakah para pemilik tandatangan masing masing sebagai pribadi atau dalam jabatannya.

"Kalau sebagai pribadi, mewakili keturunan Tuan Sorimangaraja yang mana?. Karena ada diantara penandatangan berasal dari keturunan Lontung. Ada juga yang bukan orang Batak. Ada inatta soripada atau perempuan," tanya pengurus Parna Indonesia.

Karena, jelas pengurus Parna Indonesia, garis keturunan masyarakat Batak, yang membawa atau meneruskan marga adalah laki-laki (Patrilineal).

Disampaikan lebih lanjut, keturunan Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton menghormati masing masing pribadi. Namun, juga mempertanyakan hubungan Polres, Koramil, Pastor, Dirut BODT, Komisi III DPR RI/MPR RI dengan silsilah/keturunan Tuan Sorimangaraja pada peresmian berlangsung.

"Kami keturunan Tuan Sorba Dijulu/Nai Ambaton sangat menghormati para pejabat tersebut. Namun jangan diikutkan dalam penandatanganan situs/prasasti . Apabila terjadi kekeliruan seperti sekarang ini, akan menutup peluang kami masyarakat untuk meminta perbaikan. Atau para pejabat tersebut ikut membenarkan kekeliruan ini," ucap pengurus Parna Indonesia.

Dijelaskan kembali, dalam peresmian situs/prasasti Tuan Sorimangaraja, yang berhak menandatangani adalah Bupati Kabupaten Samosir selaku Kepala Daerah ditambah bersama-sama dengan keturunan Tuan Sorimangaraja.

Mengakhiri, untuk menjaga kerukunan di kalangan atau antar marga keturunan Tuan Sorimangaradja, serta menyikapi keresahan yang timbul dalam Popparan marga Raja Naiambaton, pengurus Parna Indonesia memohon kepada Bupati Samosir untuk menghentikan kegiatan peresmian Parhutaan Tuan Sorimangaraja, sekaligus membatalkan situs/prasasti yang telah ditandatangani.

Dimohon juga, bilamana ada rencana untuk menata ulang pembangunan Parhutaan Tuan Sorimangaraja, hendaknya dengan melibatkan semua marga/popparan Tuan Sorimangaraja dan lembaga budaya yang sah.

Dan guna menjaga kerukunan di kalangan atau antar marga keturunan Tuan Sorimangaraja, serta menyikapi keresahan yang timbul dalam popparan/marga Raja Nai Ambaton, juga dimohonkan kepada Bupati Samosir untuk mencabut atau membatalkan surat ijin membuat bangunan (IMB) apabila sudah sempat dikeluarkan.