JAKARTA - Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat yang kini berubah jadi PPKM Level 4 membuat kalangan pengusaha pusat perbelanjaan kehilangan pendapatan. Sejak PPKM Darurat mal atau pusat belanja dilarang dibuka, efeknya banyak ritel tutup sementara sampai yang permanen. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengungkapkan bahwa kebijakan penerapan PPKM darurat cukup menyulitkan para pengusaha. Alphonzus meminta bantuan kepada pemerintah untuk bisa bertahan di masa PPKM yakni dengan relaksasi dan subsidi.

"Sebetulnya mendingan agak lebih baik dari 2020 tapi terjadi lonjakan kasus positif jadi semakin berat. Kami meminta bantuan pemerintah. Sekarang ini pemerintah harus lihat karena pelaku usaha sudah tidak mampu mengatasi masalah sendiri atas kemampuannya sendiri," ujar Alphonzus dalam konferensi pers Temu Wicara APRINDO bersama APPBI, Kamis (22/7/2021).

Menurutnya, pemerintah setidaknya mengeluarkan aturan yang memungkinkan untuk meniadakan sementara ketentuan pemakaian minimum atas listrik dan gas. Selain itu, pelaku usaha pusat perbelanjaan juga memerlukan penghapusan sementara Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB), pajak reklame, dan pajak retribusi lainnya yang bersifat tetap.

Alphonzus juga berharap bahwa pemerintah dapat memastikan penegakan atas pemberlakuan pembatasan secara tegas dan memastikan penerapan protokol kesehatan secara ketat selama penerapan PPKM darurat.

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat memberikan banyak kerugian bagi pelaku usaha. Belum usai, daya beli yang masih rendah serta keengganan masyarakat ekonomi kini mereka sudah kembali ditutup.

"Selama PPKM kami kehilangan pendapatan adalah kurang lebih Rp 5 triliun per bulan. Untuk Jawa-Bali Rp 3,5 Triliun per bulan. Itu angka dari pusat perbelanjaan," ujar Alphonzus.

Senada dengan Alphonzus, pemberlakuan PPKM darurat juga membuat Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Modern Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey juga mengakui penjualan ritel turun selama PPKM. Ia memprediksi jumlah gerai ritel yang tutup makin banyak.

"Jadi kalau dari statement 2020 secara indikator bahwa itu ada 5-6 toko swalayan tutup. Dan kalau 2021 setiap hari 1-2 tutup toko. Bayangkan 1 minimarket nilainya Rp 1 -1,5 miliar, hipermarket Rp 30-35 miliar. Kita rata-rata saja dikali 1.300 (ritel) sudah berapa angkanya," ungkap Roy.

Roy berharap agar pemerintah bisa kembali memberikan tambahan insentif bagi para pelaku usaha ritel. Selain itu, ke depan ia berharap pemerintah bisa melakukan komunikasi dengan para pelaku usaha sebelum menetapkan kebijakan.

Menunggu Insentif

Alphonzus mengungkapkan bahwa pemerintah memang sudah mengeluarkan insentif untuk penambahan modal kerja bagi perusahaan-perusahaan yang terkena dampak pandemi, terutama di sektor ritel.

Kendati demikian yang sudah diakomodir menurutnya barulah insentif pajak pertambahan nilai (PPN) ditanggung pemerintah untuk sewa properti.

"Yang sudah di akomodir akan ada intensif bulan Maret untuk ritel dan yang saya tahu baru satu yakni PPN yang sewa artinya buat peritel sewa. Tapi gimana yang di luar pusat belanja yang stand alone," ujarnya.

Cara pemerintah memastikan penegakan atas pemberlakuan pembatasan harus dikaji kembali. Sebab, sektor yang ada di lingkup organisasi ritel termasuk yang terdampak besar oleh pandemi di Indonesia.

Ia mengatakan bahwa pelaku ritel juga tak pernah diajak berdialog dengan pemerintah dalam pembuatan kebijakan. Menurutnya, pemerintah setidaknya mampu secara cermat dan tepat, terutama dalam mengutamakan kesehatan dan mengatur operasional aktivitas usaha pada sektor-sektor yang diizinkan.

"Pemerintah ada kebijakan cenderung terlambat jadi cenderung tidak efektif misal perihal pemakaian minimum PLN tapi tidak dikabulkan. Jadi diminta bulan April dan baru disetujui 6 bulan kemudian jadi ini enggak ada manfaatnya. Inilah kebijakan pemerintah begitu lama digodok setelah digulirkan sudah terlambat semua," katanya.*