MEDAN - Masyarakat Dusun IV Desa Kota Galuh Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai yang sempat resah dengan adanya pengukuran lahan atas tanah yang mereka kuasai, dianjurkan untuk pro aktif dalam mengajukan permohonan sertifikat ke Badan Pertanahan Negara (BPN).

Sebab hal tersebut akan mengokohkan kepemilikan atas lahan yang telah dikuasai selama puluhan hingga ratusan tahun. Bahkan sudah ada yang menempati areal tersebut tiga hingga empat generasi.

Guru Besar Universitas Sumatera Utara (USU) Fakultas Hukum, Hukum Agraria, Prof M Yamin, Minggu (20/6/2021) menyebutkan untuk melahirkan kepemilikan terhadap lahan yang dikuasai harus dikukuhkan secara hukum. Dengan pro aktif mendaftarkannya ke BPN setempat.

Sebab dalam hukum agraria, BPN bersikap pasif dan yang menguasai lahanlah yang perlu pro aktif mengurus kepemilikannya. Karenanya, untuk mendapatkan kepemilikan tersebut tetap harus diurus. Orang yang menguasai lahan secara fisik dan pertama datang untuk mengokohkan penguasaannya dengan cara mengurus ke BPN, menjadi alasan dan dasar atas kepemilikannya.

"Untuk lahir haknya harus didaftarkan. Pendaftaran kita pasif. Orang yang datang baru diladeni oleh BPN. Jadi tidak mungkin, datang orang BPN kalau di tanah orang, kecuali ada orang-orag yang mau memanfaatkan situasi. Kalau misalnya, seperti alasan SK 59, Kehutanan dan akan diambil, tidak akan ada itu," ujarnya.

Karenanya, dibuktikan dengan siapa yang datang pertama kali. "Kalau dia bisa membuktikan yang pertama, maka asas itu berlaku. Kalau memang itu tanah tengku, apa alasan dia, kenapa selama ini diterlantarkan. Kalau misalnya, masyarakat, apa alasan dia pertama di situ, apakah membuka hutan, okupansi," ujarnya.

Sambungnya, jika ada pihak yang mengaku untuk melakukan pengukuran, masyarakat patut waspada. "Kalau ada orang yang mengaku-ngaku, hati-hati," ujarnya seraya menambahkan jika nantinya ada sengketa, dibuktikan di pengadilan.

Prof M Yamin juga menekankan agar masyarakat selalu memelihara hubungan hukum.
"Untuk kepemilikan itu, tetap diurus, tetap digunakan, tetap dipelihara hubungan hukum itu. Hubungan hukum kepemilikan itu jangan diterlantarkan. Karena ada prinsip dalam hukum agraria itu, sekali elang terbang, tinggal ranting. Jadi kalau dia meninggalkan tanah itu, ya tanah itu harus tinggal. Tidak boleh dianggapnya sebagai miliknya, tidak boleh dalam hukum adat. Jadi asas itu yang perlu dibuktikan sekarang. Bisa nggak bahwa orang yang pertama meninggalkan, lalu mereka, masyarakat datang tanpa ada orang di situ, maka masyarakat itulah yang harus dikokohkan menjadi kepemilikan tumbuh di situ," urainya. Dia menambahkan hal ini menjadi haknya hakim, karenanya harus sengketa. Makanya, siapa yang merasa terlanggar haknya, dia boleh mengajukan gugatan ke pengadilan.

Untuk penguatan hubungan hukum ini, sebutnya, masyarakat harus mengajukan ke BPN yang dikuatkan dengan sejumlah bukti pendukung, seperti pembayaran-pembayaran kewajiban PBB, rekening listrik dan kewajiban-kewajiban lainnya, disertai dengan surat pengakuan kepala desa. "Ini proses untuk menjustifikasi milik yang disebutkan dalam asas itu, ini dari sisi agrarianya" ujarnya.

"Jadi jangan bingung kalau dari awal mereka di situ, bertahan saja. Karena itulah nanti yang dipertengkarkan kepemilikan itu. Dan itu yang digugat. Kalau ada surat pendukung kan untuk membuktikan milik kita kan ada dua, surat-surat dan penguasaan fisik. Itu diakui, dalam hukum agraria. Kalau tidak ada surat-surat, ada penguasaan fisiknya. Itu diakui sebagai awal kepemilikan dari pada awal surat hubungan kepemilikan itu sudah tumbuh," pungkasnya.

Sebelumnya, sejumlah warga Dusun 4 Desa Galuh Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdangbegadai, kini mengaku resah. Pasalnya, tanah yang mereka kuasai dan tempati sejak ratusan tahun lalu, pada hari Minggu (6/6), tiba-tiba diukur oleh oknum yang mengaku utusan pemilik lahan.

Selain itu beredar pula kabar jika lahan tersebut akan dijual ke pihak lain atau "tukar-guling". Ada juga kabar beredar, warga setempat akan direlokasi ke tempat lain.