SUDAH 3 bulan tiap hari mamak kirim makanan ke rumah, untuk saya dan anak-istri," kata sahabat saya dengan tenang tapj sedikit masgul. “Saya tidak bergaji dan saya pun berhutang gaji kepada para manajer saya,” lanjutnya pada sebuah pertemuan di pertangahan krisis tahun lalu.

Pengusaha kuliner ini menutup beberapa outletnya karena pandemi yang berkepanjangan ini. Seperti banyak pengusaha lain, rasanya ia pun  tidak ada menemukan obat dan solusi untuk krisis sekarang ini. 

Hampir tidak ada catatan dan sejarah krisis semacam ini yang bisa dijadikan acuan untuk menghadapinya. Tidak ada referensi yang pernah terjadi untuk krisis semacam ini. Semua dari kita mengalami kebutaan yang sangat gelap tanpa satu titik cahaya sekalipun. Faktanya semua dari pengusaha sudah mengusahakan semua strategi logis ala manajemen modern. Tetapi hampir semua strategi itu putus dan kandas oleh terjangan krisis yang terus memanjang.

Putus atau Awal Baru

Sedemikan panjang krisis berjalan, saya memperhatikan Banyak pengusaha. Ada yang yang jatuh dalam kemiskinan dan beban mental yang hancur. Ada yang menempuh strategi nekat dengan menambah jumlah hutang kepada perbankan.  Ada yang yang memutar haluan dengan mencari pekerjaan setelah usahanya tutup. Ada yang yang menutup mata dengan menghalalkan semua cara demi bisa bertahan hidup. Bagi saya mereka saya kategorikan memasuki tahapan putus.  

Di saat yang sama, ada beberapa pengusaha yang berhasil menjalani krisis ini dengan “terlihat” baik-baik saja.  saya mencoba memperhatikan dan bertanya kepada mereka: bagaimana mereka bisa melewati krisis ini tanpa terlihat resah dan gelisah?

Sebagian besar dari mereka memiliki jawaban yang sama. Sebuah Jawaban yang selama ini mereka abaikan. Mereka menemukan “faktor X”  sebagai salah satu kunci sukses bisnis. Penemuan inilah yang saya anggap sebagai memasuki tahapan awal baru. 

Mereka menemukan spiritualisme bisnis.  Mereka menemukan Tuhan.  Sesuatu yang selama ini mereka abaikan. sesuatu yang mereka percayai selama ini tetapi mereka tidak meyakininya.  Mereka tidak melibatkan Tuhan dalam bisnis mereka. 

Faktanya mereka bukan tidak mengingat Tuhan, mereka mengerjakan praktikal peribadatan, mereka melakukan dan menjalankan sedekah, mereka beramal sebagai bagian dari  kepercayaan kepada Tuhannya.

Pandemi ini berhasil mengingatkan mereka, bahwa selama ini mereka hanya menggunakan teori dasar bisnis yang hanya mereka dan hartanya lah sebagai kunci keberhasilan bisnis.

Pandemi ini berhasil mengingatkan mereka, bahwa mereka hanya makhluk biasa yang hanya bisa meminta dan berusaha. Mereka menyadari bahwa hasil dari usaha mereka ditentukan oleh pihak lain, dalam hal ini adalah Tuhan.

Wahyu

Mengenal dan memahami bahasa Tuhan tidaklah sederhana. Ketidak sederhanaan ini terjadi karena kita (manusia modern)  terlanjur terbiasa hanya menggunakan potensi dasar manusia secara terbatas.

Kita terbiasa hanya menggunakan insting, panca indra, dan logika pikiran saja. Padahal semua media ini tidak cukup mampu untuk memahami dan merespon krisis saat ini. Ada satu lagi media penting untuk bisa bereaksi positif atas krisis ini, yang disebut dengan "wahyu".

Melalui wahyu Tuhan berbicara kepada kita. Melalui wahyu Tuhan memberikan petunjuk, pembeda dan penjelasan atas petunjuk tersebut. Disinilah solusi menghadapi krisis bisa ditemukan dengan jelas dan gamblang.

Bagaimana bisa mendapatkan wahyu tersebut? Tentu saja bukan melalui mimpi. Wahyu tersebut bisa kita dapatkan dari kitab-kitab suci agama kita. Melalui kitab suci inilah Tuhan berbicara kepada semua orang, bukan saja kepada nabi dan rasul.

 Menyerah

Wahyu Tuhan adalah hal yang istimewa. tentu saja memerlukan keistimewaan untuk bisa mendapatkannya. Keistimewaan itu sebenarnya sederhana; yaitu berserah diri. Siapapun yang tidak bisa menyerah dan tidak menyadari siapa Tuhan - siapa makhluk, pasti akan mendapati kesulitan untuk bisa menerima dan memahami wahyu dari Tuhan.

Berhentilah menjadi Tuhan. Bukan anda penentu semua hal. Tak semua yang anda kehendaki bisa terjadi. Hanya Tuhan penentu semua hal. Menyerah lah.

Libatkan Tuhan dalam bisnis kita. Sadari bahwa harta adalah milikNya. Letakkan harta di tangan, jangan di hati.  Harta dititipkan kepada kita, untuk dimanfaatkan dengan positif bukan hanya untuk kita, tetapi untuk banyak orang dan kemuliaan bumi.

Dan menjelang Ramadan kemarin saya bertemu dengan pengusaha  kuliner itu, langsung di lokasi usahanya. Usahanya berjalan dengan baik, pelanggan berdatangan, omset meningkat, dan dia tidak lagi dikirimi makanan setiap hari oleh ibunya. 

 “Rejeki Tidak tertukar, coach,” begitu ujarnya sambil tersenyum penuh keyakinan.

*Business Coach Dengan Spesialisi Bisnis Keluarga