SETELAH selama 1 jam barisan maut pimpinan Letnan Satu Ahmad Nurdin Lubis melakukan perlawanan sengit, pertempuran tak seimbang dengan semboyan "Merdeka atau Mati' yang telah mengambil korban dari pehak Tentara Rakyat yang gugur sebagai pahlawan perang kemerdekaan.


Selanjutnya, masih dikutip dari buku yang berjudul "Satu Jam di Front Sipaku Area" karya tulis R. Soetrisman, ME, S.Sos dan Drs. Kadiman Desky.

Menurut sang penulis, saat itu langit yang menggantung di atas Pos Polisi Simpang Kawat terlihat cukup cerah. Pagi hari itu tanggal 4 Agustus 1947, di situ terlihat beberapa orang pemuda dengan ikat kepala merah putih sedang duduk-duduk asyik membicarakan bagaimana bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dan melepaskan belenggu penjajahan.

Ternyata mereka bukan pemuda-pemuda biasa, akan tetapi adalah regu Pasukan Sabotase Komandan Asahan Area, seorang di antaranya bernama Ahmad Nurdin Lubis berpangkat letnan Satu dari tentara rakyat Indonesia (TRI).

Kemudian ada Mahmin Manurung 38 tahun, Sairin 23 tahun, Ahmad Kelapa 13 tahun, Gudri 25 tahun, Anwar AB 24 tahun dan Monteng 26 tahun serta beberapa orang pemuda lainnya yang turut berpartisipasi membantu perjuangan sebagai kurir. Mereka asik minum kopi dan sarapan pisang rebus.

Walaupun mereka duduk sambil minum kopi dan sarapan pisang rebus, namun tetap bersikap waspada dan semangat proklamasi 17 Agustus 1945 masih berkobar-kobar di dalam hati sanubari mereka.

Dari raut wajah masing-masing dapat dilihat bahwa mereka menunjukkan semangat tinggi untuk mengusir penjajah Kolonial Belanda dari bumi Nusantara ini.

Memang diakui bahwa mereka sebagian besar tidak memiliki latar belakang pendidikan formal memadai dan dengan usia yang cukup dewasa, akan tetapi mereka memiliki rasa nasionalisme atau jiwa kebangsaan dan solidaritas nasional yang tinggi melebihi usia sebenarnya.

Bahkan walau dengan kehidupan yang serba kekurangan dari sisi ekonomi, mereka secara ikhlas tanpa memilih menyerahkan jiwa raga bahkan nyawanya semata-mata demi tegaknya Indonesia merdeka yang kelak akan sangat berguna bagi anak cucu mereka.

Falsafah perjuangan yang mereka emban adalah "Indonesia hari esok, ditentukan oleh pemuda hari ini. Pemuda Indonesia tidak pernah takut berjuang dan tidak takut mati, karena ia tahu untuk apa ia berjuang dan untuk siapa ia harus mati".

"Jika Pemuda (generasi muda) sekarang tidak mau berjuang untuk Ibu Pertiwi maka itu merupakan awal dari sebuah kehancuran negara dan bangsa. Maka kalian harus berjuang". Demikian ujar Lettu Ahmad Nurdin Lubis dengan tenang dan nada penuh semangat serta percaya diri memberi semangat kepada pasukannya yang disambut dengan pekik "MERDEKA!!!".

Namun ditengah-tengah Ahmad Nurdin Lubis sedang membekali anak buahnya dengan semangat juang, sekira pukul 09.00 pagi, ketenangan mereka terusik ketika mendengar suara menderu-deru, yang ternyata adalah iring-iringan 5 panser dan 25 truk Tentara Belanda dari arah kisaran menuju Tanjung Balai.

Ahmad Kelapa anggota pasukan sabotase yang termuda dalam usia 13 tahun segera bangkit mengarahkan laras karabennya kearah konvoi Tentara Belanda.

Akan tetapi tindakan Ahmad Kelapa segera dicegah komandannya. "Jangan bertindak konyol kau!!," bentak Lettu Ahmad Nurdin Lubis.

Ahmad Kelapa segera sadar dan menurunkan senjatanya. Kawan-kawan lainnya menjadi tegang melihat semangatnya ingin menumpas penjajah, sehingga melupakan situasi dan kondisi pasukan yang jauh tidak seimbang dibanding dengan kekuatan musuh.

Walaupun situasi sangat genting, komandan barisan maut Lettu Ahmad Nurdin Lubis terus meminta agar pasukannya bersikap tenang dan mawasdiri, jangan bertindak sembrono tak punya perhitungan. "Dengan jumlah pasukan yang sedikit, kita harus punya perhitungan yang masak, jika tidak kita akan mati sia-sia," ujarnya kepada anggotanya.

Memang, andaikata Lettu Ahmad Lubis Nurdin tidak cepat bertindak melarang dan Ahmad Kelapa menarik pelatuk karbennya, sudah dapat dipastikan mereka akan disapu bersih oleh Tentara Belanda itu, karena mereka hanya beberapa orang dengan persenjataan yang tidak memadai, yaitu 4 pucuk Karben dan 1 pucuk Metralieur. Satu-satunya jalan adalah menyampaikan laporan lewat telepon kepada komandan markas komandan Asahan Area, Datuk Muda Edwardsyah di Tanjung Balai, bahwa Tentara Belanda berkekuatan 5 panser dan 25 truk sedang menuju Tanjung Balai.

Namun sayangnya, Datuk Muda Edwardsyah tidak yakin karena ia baru saja menerima telepon dari Sei Bejangkar yang mengatakan bahwa situasi dalam keadaan aman, sehingga laporan tersebut tidak mendapat tanggapan.

Ketika iring-iringan, Tentara Belanda yang kedua masuk lagi mendekati Simpang Kawat, maka Lettu Ahmad Nurdin Lubis memerintahkan pasukannya untuk sementara menyingkir dan bersembunyi ke belakang Pos Polisi Simpang Kawat, Kemudian penduduk Simpang Kawat dan sekitarnya diminta agar mengungsi mencari tempat yang aman.

Akibat penyerangan Tentara Belanda ke kota Tanjungbalai, Pasukan Sabotase Asahan Area pimpinan Ahmad Nurdin Lubis di Simpang Kawat menjadi panik dan hubungan komunikasi dengan Komandan Asahan Area (KAA) Pimpinan Datuk Muda Edwardsyah menjadi terputus.

Setelah situasi dianggap aman, Pasukan Sabotase Asahan Area segera berangkat ke Jembatan Sipaku karena di situlah benteng pertahanan Pasukan Sabotase Asahan Area untuk mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Lasykar Ahmad Nurdin Lubis dibantu warga setempat sibuk menggali lubang pertahanan pada sayap kiri dan kanan bibir Sungai Hessa di dekat Jembatan Sipaku.

Walaupun mereka sangat menyadari kekuatan senjata Lasykar Rakyat tidak memadai untuk melawan musuh yang memiliki persenjataan cukup lengkap dan jumlah pasukan cukup banyak, namun pasukan Ahmad Nurdin Nasution CS sudah putuskan tekad tak akan mundur setapak jua dan mereka sudah siap berjihad walau nyawa harus berpisah dengan badan, Bersambung......