MARYLAND - Setelah sekian lama diuji dan diterapkan untuk penyembuhan virus COVID-19, pemerintah federal AS memberhentikan uji coba plasma darah. Hal ini disebabkan produk darah dari pasien yang pulih ternyata tidak efektif untuk menyembuhkan dari virus.
Padahal sebelumnya, Food and Drug Adminsitration (FDA) mengesahkan penggunaan plasma darah pasien sembuh sebagai perawatan darurat di rumah sakit selama pandemi, meskipun beberapa akademisi dan ilmuwan masih menguji efektivitasnya.

Plasma dari pasien yang sudah sembuh mengandung antibodi atau protein yang dihasilkan oleh sistem kekebalan untuk melawan penyakit. Tetapi pada kondisi tertentu, seperti flu, antibodi pasien yang sudah sembuh itu bisa didonorkan untuk membantu seseorang yang telah terinfeksi.

Di AS, uji coba dilakukan oleh National Institutes of Health (NIH), yang sejak pekan lalu dihentikan.

"Kami tidak melihat tanda apa pun bahwa plasma (pasien) yang (sudah) sembuh memiliki manfaat pada pasien yang berisiko terkena penyakit yang lebih serius," ungkap salah satu peneliti uji coba Simone Glynn, seperti dilansir USA Today.

Sedangkan Daniel Griffin, spesialis penyakit menular ProHEALTH Care menganggap, plasma sebagai pemulihan COVID-19 'sepertinya tidak memberi dampak signifikan pada hal-hal yang harus diperhitungkan, seperti kematian dan perawatan di rumah sakit.

Setidaknya, dalam laman penelitian Clinical Trial, terdapat lebih dari 180 uji coba yang dilakukan ilmuwan AS terkait plasma untuk penyembuhan COVID-19. Salah satunya adalah yang dipublikasikan di jurnal Medrxiv pada Agustus 2020 yang dipimpin Michael J Joyner dan tim.

Penelitian ini dilakukan pada 100.000 pasien yang semuanya menerima donor plasma. Studi itu mengungkapkan bahwa 7,3 persen kematian lebih di antara pasien yang memiliki tingkat antibodi sendiri yang kemudian menerima plasma. Persentase itu dibandingkan dengan pasien penerima plasma dengan sedikit antibodi.

Menurut para peneliti, pemberian plasma kepada pasien yang antibodinya sedikit atau lemah, meski efektif, sama saja dengan mengonsumsi plasebo. Plasebo sendiri adalah jenis obat kosong yang tidak mengandung zat aktif dan tidak dapat memberikan efek apa pun pada kesehatan.

Meski demikian, mereka tidak memasukkan metode pengobatan jenis plasebo. Karena, meski tidak memenuhi standar untuk uji klinis, plasma cukup efektif pada pasien yang memiliki antibodi kuat.

Namun, Scott Wright, salah satu peneliti bersama Michael Joyner, mengkritik terburu-burunya lembaga itu. Sebab studi ini masih terlal kecil untuk memberikan bukti yang dapat disimpulkan terkait efektivitas penyembuhan lewat donor plasma.

"Kita tahu, dibutuhkan lebih dari 1.000 pasien untuk menunjukkan manfaat efektivitasnya," ungkapnya.

Menurut Wright, uji coba yang dilakukan oleh FDA melibatkan terlalu sedikit pasien, dan belum memiliki cukup perawatan yang lebih potensial.

Uji coba yang dilakukan otoritas itu dilakukan pada 47 unit gawat darurat rumah sakit, dan sampel hasilnya teruji pada 511 peserta. Sedangkan yang diteliti oleh mereka secara kesluruhan ada 900 orang.

Pasien dan peneliti yang memiliki gejala COVID-19 selama seminggu atau kurang, diyakini efektif oleh mereka. Tetapi setelah dianalisa lebih lanjut, penyakit itu umumnya disebabkan oleh reaksi yang berlebihan oleh sistem kekebalan daripada virusnya sendiri.

Pada 25 Februari lalu, NIH membahasnya dalam pertemuan Data and Safety Monitoring Board (DSMB). Mereka meninjau data dan menentukan bahwa sementara pengobatan plasma tak menyebabkan kerusakan.

NIH, dalam rilisnya juga mendapatkan saran dari DSMB untuk menghentikan pendaftaran pasien baru untuk penelitiannya. DSMB pun menyarankan agar NIH berhenti mendaftarkan pasien baru ke dalam penelitian tersebut, dalam rilis.

Setelah itu, Glynn dan timnya dari NIH menunggu sampai data sudah dianalisa sepenuhnya terkait efektivitas penyembuhan plasma. Setelah menunggu hasil yang dapat disimpulkan dari hasilnya, mereka pun menghentikan uji coba yang selama ini berjalan.