YOGYAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mendorong pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara pada pembangkit listrik tenaga uap PLTU, boiler, dan tungku industri untuk bahan baku atau keperluan sektor konstruksi.

Hal ini menyusul diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dimana didalamnya terdapat pengaturan tentang Pengelolaan Limbah B3 dan Non B3 dari kegiatan pembakaran batubara (FABA).

Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Nani Hendiarti, mengatakan penggunaan FABA untuk berbagai keperluan harus tetap menerapkan prinsip kehatian-hatian setelah adanya dorong dan permintaan berbagai pihak untuk pengecualian FABA dari daftar limbah B3.

"Sebelum terbitnya PP 22 Tahun 2021, Kemenko Marves telah mendorong adanya revisi Permen LHK Nomor 10 tahun 2020 tenang Uji Karakteristik Limbah B3 untuk mengakomodasi penyederhanaan prosedur uji limbah FABA agar bisa dikecualikan dari status B3. Ini sebenarnya sudah dibahas secara detail dan sudah diakomodir upaya pengecualian FABA sebagai B3 dan dapat memanfaatkan FABA sambil menunggu hasil uji karakteristik toksikologi sub kronis yang memerlukan waktu cukup lama" kata Nani secara virtual pada Lokakarya Pemanfaatan Fly Ash Bottom Ash (FABA) yang dilansir dari laman resmi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat (5/3/2021).

Menurut Nani penyusunan PP 22 yang dikawal oleh KLHK membutuhkan proses yang cukup panjang dan akhirnya mengeluarkan FABA dari daftar B3. Adanya regulasi baru itu, kini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang banyak menghasilkan FABA sudah bisa begerak cepat dalam menyiapkan skenario dan road map atau peta jalan pemanfaatannya.

"Pemanfaatan FABA sudah sering dibahas, digunakan untuk bahan baku berbagi produk dan ini nantinya masuk sirkularitas dalam sektor industri," ujarnya.

Dia menyampaikan bahwa pertemuan ini sangat penting dan bisa dikatakan sebagai langkah awal yang penuh semangat untuk sama-sama memanfaatkan limbah FABA yang ada saat ini. Konkritnya, dalam kegiatan ini akan didorong kolaborasi serta penyusunan peta jalan pemanfaatan FABA yang ujungnya ada semacam program atau produk percontohan atau pilot project .

"Dalam berbagai kesempatan, Pak Menko Marves telah menyampaikan komitmennya untuk mondorong percepatan pemanfaatan FABA sebagai bahan pendukung infrastruktur, baik jalan, batako, dan sebagainya. Jadi saya rasa momen ini harus dijaga dan kita segara punya contoh besar pilot project dan bisa segera kita realisasikan. Kami juga ingin jalan satu tim, saling support untuk mewujudkan apa yang kita inginkan tadi, semoga kegiatan lokakarya pemanfatan FABA menjadi langkah konkrit untuk kita kerja bersama-sama," pungkasnya.

Sementara Penasihat Khusus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Yohanes Surya, menyampaikan lewat Lokakarya Pemanfaatan Fly Ash Bottom Ash diharapkan agar ada tindakan nyata terkait pemanfaatan FABA itu sendiri di Indonesia. Pasalnya, selama ini FABA sudah banyak digunakan di bidang konstruksi, misalnya geopolimer dan lainnnya.

"Kemudian juga kita harapkan ada pemanfaatan FABA untuk semen, pengganti substrat karang, mangrove dan ekstraksi kandungan-kandungan material penting lainnya. Saya berharap hari ini kita punya tindakan nyata setelah ini, apa yang bisa kita lakukan," kata Yohanes dalam kesempatan yang sama.

Yohanes mengungkapkan selama ini FABA masuk dalam kategori limbah beracun sehingga sangat sulit untuk dimanfaatkan keberadaanya oleh penghasil limbah itu sendiri yakni PLTU. Padahal biaya untuk pengelolaan limbah jenis ini terbilang sangat besar. Keluarnya PP 22 akan menjadi kabar baik karena FABA sudah bisa dimanfaatkan.

"Sekarang dana untuk pengelolaan limbah itu bisa menurunkan biaya produksi listrik bahkan mendapat keuntungan dari pemanfaatannya. Tahun ini jumlah FABA yang dihasilkan sekiar 17 juta ton dan tiap tahun itu meningkatkan. Pada 2050 diperkirakan mencapai 49 juta ton," sebutnya.

Di samping itu, dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Prof. Januarti Jaya Ekaputri, menjelaskan hingga kini sudah ada penelitian yang final terkait pemanfaatan FABA untuk beton sebagai bahan pengganti semen atau pasir dari level laboratorium serta kerja sama dengan industri.

"Sekarang masalahnya sejak FABA itu sudah dikeluarkan dari daftar limbah B3, ini aplikasinya harus ditingkatkan, kalau dulu orang ragu-ragu, ini izinnya bagaimana, transportasi bagaimana, dan apakah melanggar regulasi atau tidak," kata Prof. Januarti.

Prof. Januarti memandang setelah FABA dikeluarkan dari daftar limbah B3 pasca terbitnya PP 22 beberapa waktu lalu, yang paling penting diselesaikan ialah terkait regulasi atau aturan turunannya dari pemerintah terkait pemanfaatan FABA yang dimaksud. Pemerintah lewat kementerian terkait harus segera mengeluarkan aturan atau secaman standar operasional prosedur (SOP) penanganan FABA.

"Itu yang kita tunggu. Kemudian dari sisi industri, itu mereka jangan bingung lagi, karena ada model yang dapat diaplikasikan dalam sebuah produk, siapa yang mau menggunakan atau pakai," ujarnya.

Sebagai peneliti, dia berharap ada pusat riset tentang FABA, sebab Indonesia potensi batubara yang banyak. "Jadi sebagai pusat informasi dan pusat ilmu pengetahuan, sebaiknya ada pusat riset bautbara termasuk pemanfaatan limbahnya," sambungnya.

Senada dengan itu, dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof. Agus mengungkapkan FABA bisa berfungsi sebagai sumber daya bahan baku berbagai produk dan punya potensi ekonomi. Apalagi Indonesia dikenal memiliki banyak FABA hingga saat ini. "Estimasi FABA yang ada dari beberapa PLTU di Indonesia pada 2050 itu mencapai 50 juta ton," ungkapnya.

Prof. Agus menerangkan estimasi biaya yang diperlukan setiap 10 persen pembakaran FABA bisa mencapai Rp 500.000 per ton FABA. Namun setelah keluar PP 22 itu maka estimasi biaya ini sudah berkurang.

"Itu biaya biaya handling yang dikeluarkan di 2019 di mana kita punya 14,5 juta ton FABA, seluruh Indonesia itu 7,4 triliun," imbuhnya.

Dia menyebutkan pada 2021 estimasi FABA yang dimiliki Indonesia mencapai 17,5 juta ton. Jika FABA masih masuk dalam daftar limbah B3 maka biaya yang diperlukan untuk pengelolaannya akan sangat besar dan setelah adanya PP 22/2021 ‘ongkos pengelolaan’ menjadi relatif lebih kecil.

"Pertanyaan, berarti ada penghematan 8,75 triliun, mestinya itu bisa dipakai untuk pemanfaatan yang lebih banyak, oleh PLTU, masyarakat, atau perusahaan, dan akan menjadi buliran sirkularitas ekonomi. Tadi dikeluarkan, sekarang bisa dihemat," bebernya.

Dalam pemanfaatannya, FABA bisa beragam sesuai kebutuhan, terutama untuk industri konstruksi, baik jalan maupun lainnya. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk ekstraksi material maju.

"Jadi FABA punya potensi sebagai sumber material-material yang saat ini sangat dibutuhkan dalam berbagai industri strategis. Yang lagi rame mobil listrik, baterai, dan seterusnya," tutupnya.