MEDAN - Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen (LAPK) menilai kebijakan PT PLN yang membebankan biaya tagihan listrik Rp93.582.246 terhadap pelanggan dikarenakan tagihan rekening listrik yang turun drastis, dinilai tidak tepat. Sebab hal tersebut hanya berdasarkan asumsi.

"Pendekatan yang dilakukan PLN ini dalam situasi Covid-19 sekarang ini, bukan cara tepat. Karena dia berdasarkan asumsi, seharusnya kalau mau menyatakan besar atau beban yang harus dibayar pelanggan harus didasarkan perhitungan. Dengan pendekatan data dan fakta yang dimiliki PLN, tidak didasarkan asumsi semata," ujar Ketua LAPK, Ibrahim Nainggolan, Jumat (19/2/2021).

Hal tersebut diungkapkan menyikapi menyikapi keberatan pelanggan PLN yang bebankan tagihan listrik Rp93 juta, karena tagihan rekening listrik yang turun drastis. Padahal, aktivitas usahanya diawal pandemi Covid-19, tidak berjalan normal, bahkan hanya bertahan sekira 20% saja dibandingkan kondisi sebelum Corona.

Menurutnya, dalam situasi Covid-19 sudah menjadi rahasia umum, diawal-awal pandemi banyak UKM yang terpukul secara ekonomi. Sebab tidak bisa beroperasi dengan normal, bahkan meskipun tetap produksi, hasil yang diperoleh juga tidak sebanding.

"Jadi banyak UKM yang terpukul dengan situasi itu. Tapi yang ingin saya katakan adalah, seharusnya pendekatan PLN dengan adanya semacam dugaan kecurangan yang dilakukan oleh pelanggan harus didasarkan pada fakta dan data dilapangan. Tidak hanya pada asumsi, karena dulu-dulunya sekian, sekarang menurun drastis," ujarnya.

Kemudian sambungnya, jika misalnya ada kelebihan pakai yang harus dibebankan kepada pelanggan sebaiknya ada win-win solusi, atau jalan tengahnya. Agar PLN juga memberikan kontribusi membantu UKM untuk kembali bangkit atau setidaknya bertahan dimasa pandemi ini.

Karenanya, dia mendorong PLN memberikan respon yang baik, dengan melihat situasi yang tidak normal saat ini. "Karena situasi yang tidak normal, ini tidak bolehlah pendekatannya hitam putih," ujarnya.

Ibrahim pun menyarankan untuk duduk bersama mencari solusi bagaimana keberlanjutan ketersediaan energi oleh PLN bisa terjamin disisi lain juga kelanjutan dan kemampuan dan kemauan pelanggan juga bisa didengar PLN.

Apalagi sambungnya berkaitan jika ada fakta adanya ditemukan gigitan hewan dalam kabel listrik, tidak ada unsur kesengajaan pelanggan untuk mengotak atik aliran listrik ini, maka jika versi PLN dia mengalami kerugian, itu tidak bisa dibebankan kepada pelanggan.

"Kalau berkaitan ada fakta yang ditemukan, kabel digigit hewan, tidak ada unsur kesengajaan pelanggan. Maka sesungguhnya, kerugian itu tidak bisa dibebankan kepada pelanggan. Karena jaminan produk sarana dan prasarana teralirinya energi ke tempat pelanggan itu adalah jaminan yang diberikan oleh PLN. Makanya, perawatan, kebocoran, karena kelemahan atau kekurangan sarana dan prasarana itu tanggung jawab PLN, tidak boleh dibebankan ke pelanggan. Berbeda kalau memang dengan ada unsur kesengajaan. Tapi kalau sudah dinyatakan digigit hewan, yang sebenarnya menunjukkan kualitas PLN nya sendiri lemah," kritiknya.

Sebelumnya, Yusuf Halim pemilik usaha pabrik plastik di Jalan Irian Barat Sampali mengaku keberatan dengan adanya tagihan listrik susulan Rp 93 juta melalui surat panggilan kedua yang diterimanya dari PLN UP3 Medan Utara per 16 Pebruari 2021.

Dalam surat tersebut dinyatakan berdasarkan pemeriksaan enam bulan lalu, pelanggan dikenakan tagihan susulan pemakaian rata-rata Kwh yang tidak terukur selama tiga bulan dari pemakaian rata-rata sebesar Rp93.582.246.

Yusuf Halim mengaku saat itu, diawal Covid-19, memang usahanya tidak berjalan normal. Bahkan operasional yang berjalan hanya sekira 20% saja. Setelah Agustus baru kembali mulai jalan mendekati normal