TOBA - Sebastian Hutabarat (50) yang dikenal sebagai salah satu aktivis lingkungan dari Yayasan Pecinta Danau Toba mencari keadilan. Di dampingi istri, Sebastian akhirnya menyerahkan surat permohonan perlindungan dan penegakan hukum kepada Presiden Jokowi yang diantarkan langsung ke Kantor Kementrian Sekretaris Negara di Jalan Veteran Jakarta, Kamis (5/11/2020) kemarin. Dalam suratnya, Sebastian menjelaskan beberapa alasan yang selama ini membuat dia merasa sangat tertekan. Di antaranya, sudah menerima 5 kali surat panggilan dari Kejaksaan Negeri Samosir untuk segera memenjarakannya.

Hal ini disampaikan Sebastian dalam siaran persnya yang diterima di Group Wartawan Tobasa, Jumat (6/11/2020).

Sebastian menjelaskan, pada 6 Mei lalu dia menerima surat panggilan terpidana dari Kejaksaan Negeri Samosir tertanggal 28 April 2020 guna menghadap Kejaksaan Negeri Samosir pada 5 Mei 2020 untuk keperluan pelaksanaan putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 167/Pid.Sus/2020/PT.MDN.

Surat itu membingungkan Sebastian. Bagaimana mungkin dia hadir di Kejaksaan Negeri Samosir pada 5 Mei 2020, padahal surat ia terima di Balige pada 6 Mei 2020.

Selain itu, salinan putusan dan pemberitahuan putusan belum lewat 14 hari, di mana masih dimungkinkan untuk dilakukan upaya hukum kasasi terhadap perkara terdakwa.

Oleh karena hal tersebut, Sebastian dibuat kebingungan mengapa Kejaksaan Negeri Samosir begitu ngotot memaksakannya masuk penjara di tengah pemerintah membebaskan begitu banyak narapidana dari lapas akibat pandemi Corona.

Dalam suratnya kepada Presiden, Sebastian juga menjelaskan kronologis singkat awal kejadian yang menimpanya bersama rekannya dari Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), Jhohanes Marbun.

Sebastian dan Jhohanes Marbun, seperti telah ramai diberitakan media sejak kasus penganiayaan mereka 3 tahun lalu, adalah dua korban penganiayaan yang dilakukan JS dan para anggotanya di tambang batu desa Silimalombu Samosir pada 15 Agustus 2017.

Padahal pemerintah sudah menetapkan kawasan itu sebagai zona putih yang berarti tidak boleh dilakukannya penambangan batu atau kegiatan yang berpotensi merusak alam. Kedua aktivis itu dipukul beramai ramai, bahkan sempat disekap selama beberapa jam hingga kemudian berhasil dibebaskan pihak kepolisian dan Babinsa.

Akan tetapi sekalipun Sebastian dan rekannya Jhohanes Marbun pada hari yang sama, setelah divisum di Rumah Sakit Pangururan, segera melaporkan para pelaku penganiayaan mereka. Akan tetapi penegak hukum tidak segera menahan pelaku. Tim Lawyer YPDT sudah menghawatirkan ini karena JS pemilik tambang dan penganiaya Jhohanes dan Sebastian adalah abang kandung Bupati Samosir Rapidin Simbolon.

Dua tahun kemudian, barulah JS diadili di Pengadilan Negeri Balige. Akan tetapi para penegak hukum seolah mengkanalkan kasus penganiayaan ini hanya pada JS seorang. Beberapa pelaku lain seperti JGS, TN dan salah seorang yang memiliki ciri ciri badan kurus dengan tinggi badan sekitar 155-160 cm, berkulit coklat serta berambut jabrik yang disaksikan oleh Jhohanes dan Sebastian pada saat konfrontir bersama beberapa pelaku penganiyaan mereka lainnya di Polres Samosir pada Desember 2017, seolah sengaja tidak dihadirkan para penegak Hukum. Akhirnya JS pun divonis ringan dua bulan penjara oleh Hakim yang juga Ketua PN Balige.

"Yang justru mengherankan, Maret 2019, bersamaan dengan vonis penjara dua bulan, saya menerima status baru sebagai tersangka di Polres Samosir dengan tuduhan fitnah kepada JS. Berkali kali saya menghubungi pihak Polres menanyakan mengapa bisa menjadi tersangka, namun pihak Polres Samosir tidak pernah mengangkat telepon saya," ucapnya.

Pada 23 April 2019, Sebastian bersama tim lawyernya membawa Ratnauli Gultom, Pengurus YPDT di Samosir hadir di Polres sebagai saksi yang meringankan. Waktu itu berkas BAP masih ada di Polres Samosir. Akan tetapi esoknya 24 April Sebastian dan tim lawyernya menerima kabar bahwa Sebastian sudah di P21 tertanggal 10 April 2019.

Sebastian dan lawyernya menduga ada kesengajaan dari Polres dan Kejaksaan Negeri Samosir agar kesaksian Ratnauli Gultom yang meringankan Sebastian tidak dimasukkan dalam BAP. Juga agar gelar perkara di Polda Medan yang sedang diupayakan tim lawyer Sebastian agar kasus ini terang benderang tidak lagi bisa terlaksana.

Mukti Arifin, salah seorang dari tim lawyer Sebastian mengakui ada beberapa keganjilan dalam BAP Sebastian antara lain, adanya dua LP yang berbeda yakni LP/122/VIII/2017/SMR/SPKT Tanggal 23 Agustus 2017 sekitar pukul 03.00 WIb a.n Jautir Simbolon atas perkara tindak pidana penghinaan sebagimana dimaksud Pasal 310 atu 311 KUHPidana, akan tetapi sejak 05 Maret 2019, Penyidik menggunakan LP/B-122/VIII/2017/SMR/SPKT tanggal yang sama 23 Agustus 2017 dengan dakwaan fitnah sebagaimana dimaksud Pasal 310 KUHPidana.

Mukti heran mengapa Jaksa tidak meneliti hingga ada dua laporan LP yang berbeda pada waktu yang sama. "Ataukah ada kesengajaan mengabaikan karena ada kepentingan? Dalam berkas perkara, saya juga heran mengapa keterangan dari pihak yang memberi ijin usaha tambang tidak diambil dalam proses persidangan. Pun tidak juga diperiksa orang orang yang ada dalam bukti Surat Pernyataan Tidak Keberatan dari Lingkungan Masyarakat, sebagai persyaratan ijin tambang galian C yang dijadikan alat bukti JPU dalam berkas perkara," beber Mukti dalam siaran pers itu.

Lebih jauh di dalam suratnya kepada Presiden Jokowi, Sebastian mengisahkan kesedihan hatinya manakala melihat pohon yang mereka tanam pada waktu pelantikan mereka sebagai pengurus perwakilan YPDT telah berganti dengan berdirinya stonecursher yang sangat besar. Sebastian mengingat betul ketika ia diundang ke Jakarta setelah Jokowi terpilih menjadi Presiden RI, Jokowi meminta agar para relawan jangan membubarkan diri dulu. Kalian masih saya perlukan menjadi perpanjangan tangan saya di daerah.demikian Jokowi berpesan kala itu.

Sebastian ingat betul dengan permintaan Jokowi itu sehingga ia merasa perlu ikut menjaga kelestarian Danau Toba yang sangat dicintainya. Mengapa ketika menjalankan tugas itu kami dianiaya? Salahkah bila nurani saya terusik melihat penggiling batu yang sangat besar berdiri di bibir pantai persis di lokasi kami menanam pohon dulu? Bukankah sepatutnya Pemerintah Republik Indonesia menggawasi kelestarian sumber daya alamnya, terlebih di kawasan Danau Toba yang sudah menjadi Geopark Dunia dan menjadi andalan utama Pariwisata Indonesia? Mengapa Negara ini tidak menunjukkan keberpihakan kepada kami yang berusaha menjaga kelestarian tanah leluhur yang juga menjadi aset berharga Negara Indonesia?," tulis Sebastian.

Dalam suratnya juga Sebastian menyampaikan iman dan pengharapannya akan Indonesia yang semakin baik terutama dalam hal penegakan hukum, agar tidak ada lagi penganiayaan bagi para aktivis yang berjuang akan lingkungan hidup yang lebih baik, dan juga agar tidak lagi ada korban-korban kriminalisasi hukum seperti yang dialaminya.

"Sebagai salah satu warga negara yang belajar taat pada aturan dan hukum negara, saya sudah mengambil bagian dengan melaporkan Saudara Jautir Simbolon ke Polres Samosir, melaporkan Polres Samosir ke Propam dan Ombudsman, melaporkan Jaksa ke Komisi Kejaksaan, juga melaporkan Hakim PN Balige dan Hakim Pengadilan Tinggi Medan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial karena memvonis saya masuk penjara untuk kesalahan yang tidak saya lakukan," tulis Sebastian.

Di akhir suratnya, Sebastian berharap Presiden Jokowi bisa memberinya Amnesti atau bentuk perlindungan Hukum lainnya sebagai pelajaran agar dugaan kriminalisasi seperti yang dialaminya tidak lagi bolak balik terjadi di masa yang akan datang, dan agar orang-orang yang mengalami penindasan seperti Sebastian tidak takut bicara manakala mereka ditindas.

Sebastian ketika dihubungi Gosumut.com via Cating WA telefon selulernya Kamis, 06/11/2020 berkata bahwa dianya masih berada di Jakarta dan sore tadi Jumat 06/11/2020 dianya baru kembali dari Kejaksaan Agung RI mengantarkan surat permohonannya agar Jaksa Agung menunda eksekusi dirinya.

Disampaikannya, dia juga menunggu jawaban permohonan Amnesti Sebastian dari Presiden Jokowidodo yang telah ia kirim dan sampaikan lewat Kemensesneg RI Kamis kemarin, 5 November 2020.terangnya Sebastian Kepada Gosumut via Cat WA Selulernya.

Juga disampaikan Sebastian, bahwa dia dan keluarganya masih dilanda perasaan trauma manakala membayangkan penganiayaan yang dia alami bersama sahabatnya Jhohanes Marbun.

Menurut Sebastian karyawan dan keluarganya di Balige juga seperti dibuat ketakutan manakala Jaksa dari Samosir datang dengan pakaian lengkap menanyakan keberadaan Sebastian untuk segera dijebloskan ke penjara.

"Mengapa negara ini begitu ngotot memenjarakan saya untuk kesalahan yang saya tidak pernah lakukan," tutup Sebastian.