MEDAN - Antropolog Sumut Dr. Irfan Simatupang MSi melihat, kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Medan 2020 perlu dijadikan momentum bagi calon pemimpin Medan ke depan untuk memberi perhatian terhadap potensi multi etnis dalam menggerakkan pembangunan di segala sektor.

Hal itu dikemukakan Irfan Simatupang kepada GoSumut.com, Jumat (23/10/2020) menanggapi suasana putaran Pilkada Kota Medan yang sedang berlangsung.

Antropolog kelahiran Barus Kabupaten Tapanuli Tengah ini berharap melalui putaran Pilkada Medan 2020 ini, ada tangan baru yang bisa memimpin Medan yang jeli melihat potensi kekayaan etnis di Medan. “Multi etnis ini diharapkan menjadi perhatian. Jangan dihilangkan kearifan lokal itu. Rangkul semua etnis dalam program pembangunan di segala sektor,” tegasnya.

Sejak dulu, Kota Medan terkenal dengan kota multi etnis. Beragam etnis atau suku tinggal di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara ini. Sayangnya, kekayaan etnis yang tinggal di Medan itu, hingga kini belum dijadikan landasan atau paradigma para pemimpin dalam membangun kota metropolitan ini.

Dosen pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) itu menilai, meski ada beragam etnis di Medan, tidak ada satu etnis yang mendominasi. Fakta ini sebenarnya bisa menjadi peluang atau bahkan menjadi program bagi pemerintah dalam membangun Kota Medan.

“Jika dilihat dari cara berkomunikasi, beragam etnis ini menggunakan simbol atau bahasa nasional. Tidak ada dominant culture di sini,” kata Irfan.

Begitu juga dilihat dari sudut pandang demografi. Misalnya di sekitaran Istana Maimun dan Masjid Raya Medan, ada banyak warga etnis Melayu yang bermukim di sana. Mereka bisa dibilang tuan rumah di sini. Kemudian, di daerah Kota Matsum, banyak orang Minang. Bergeser sedikit ke arah Pasar Merah, di sana banyak orang Batak.

Kemudian di sekitaran Jalan Padang Bulan, banyak warga etnis Karo dan Pakpak. Kembali ke arah barat dan arah Jalan Gatot Subroto dan Jalan Darussalam banyak warga Aceh. Pusat Kota di sekitaran Kesawan banyak etnis Tionghoa dan India. Selanjutnya di Labuhan Deli juga banyak etnis Melayu. Sementara di daerah Tembung, Sampali dan sekitarnya banyak etnis Jawa.

“Sekarang mereka sudah cukup membaur. Tetapi secara umum, demografinya sudah seperti itu sejak dulu,” jelas Irfan.

Hanya saja, kata Doktor Antropolog lulusan Universitas Indonesia itu, kekayaan multi etnis di Medan belum dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun program pembangunan. Multi etnis hanya sebatas simbol, atau hanya sebatas seremonial perayaan biasa.

Padahal, jika ditarik lebih dalam, dengan mempelajari karakteristik perilaku masing-masing etnis, justru menjadi konsep besar dalam perencanaan program pembangunan.

Para pemimpin kota Medan seharusnya bisa menggali kearifan lokal masing-masing budaya, kemudian diterjemahkan dalam proses pembangunan. Misalnya, suku Batak terkenal dengan kekerabatan mereka. Ini bisa terjemahkan sebagai wadah untuk meningkatkan gotong-royong. Suku Minang terkenal dengan kemampuan mereka dalam berdagang. Begitu juga dengan etnis Tionghoa, bisa dimanfaatkan untuk sektor ekonomi. Begitu pula dengan etnis Jawa yang terkenal dengan semangat bekerja keras.

“Ini seharusnya digali, dimaksimalkan untuk pembangunan, sehingga menghasilkan misalnya, Medan menjadi kota yg religius (Aceh) kekeluargaan (Batak) pekerja keras (Jawa) kota jasa dan perdagangan (Minang, Tionghoa) dan lainnya,” pungkas Irfan.***