JAKARTA - Anggota Badan Musyawarah DPR RI, Saleh Partaonan Daulay berpandangan, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang memuat kapasitas finansial seseorang dimungkinkan pada titik tertentu. Hal ini menyusul peluang merevisi UU 13 tahun 2011 atau mungkin UU 23 tahun 2014 dalam upaya membenahi DTKS. "Kalau sudah canggih banget, tentu bisa," kata Saleh menjawab pertanyaan perlu atau tidaknya DTKS memuat kapasitas finansial seseorang saat diwawancarai di Nusantara III, Senayan, Jakarta, Senin (20/7/2020).

Saleh yang dikenal cukup menyoroti soal data di Indonesia itu lantas mencontohkan kebutuhan data di Imigrasi. "Dirjen Imigrasi kan butuh data itu sebetulnya. Supaya konek dengan KTP, segala macam itu. Orang kalau pakai paspor itu kan paspor tidak boleh beda dengan KTP, harus seiring,".

Ia melanjutkan, "termasuk di perpajakan, yang Anda sebut itu. Perpajakan kan butuh data juga. NPWP pakai apa, kan pakai KTP, nggak mungkin orang ngeluarin NPWP nggak pakai KTP,".

Jika melihat contoh di negara lain, kata Saleh menyinggung soal single secuity number yang sempat Ia sampaikan, "di Amerika itu kan negara semua tahu berapa berapa jumlah duit masyarakat,".

"Dia tahu, makanya nggak ada yang bisa melarikan pajak," ujar Saleh.

Saleh menegaskan, bahwa DTKS yang ada saat ini tinggal diperbaiki, "akurasinya ditingkatkan,". Dan jika ingin ditingkatkan ke level, "bahwa semua orang di Indonesia ini harus mendata sistem keuangannya, ya boleh. Sekarangkan sudah mulai,".

"Orang kita mau transfer 100-200 juta saja bisa dicek melalui BI kok," kata Saleh. "Nah mestinya kan itu bisa dilakukan. Mestinya,".

Jika upaya membenahi soal DTKS berujung pada revisi UU lalu turut memasukkan informasi kapasitas finansial seseorang sebagai bagian dari komponen data DTKS, maka proses tersebut di Senayan tentu harus lintas komisi.

"Bukan hanya komisi XI, semua komisi yang berkenaan dengan data. Kan ada Komisi III (terkait) dengan Imigrasi. Komisi I berkenaan dengan WNI di LN dan juga Paspor, dan sebagainya. Komisi II berkenaan dengan KTP dan Dukcapil. Kemudian Komisi VIII (terkait) Kemensos. Pendidikan, kan mesti dilibatkan juga berapa persen diantara mereka yang harus dapat bantuan ini, dan seterusnya, kan ada semua,".

Saleh menegaskan pentingnya para pihak menyingkronkan soal data. "Gak bisa kalau satu kemeterian bikin ini, kementerian lain bikin itu. Salah satu BPJS itu gak bisa diurus dengan benar ya karena pendataannya,".

Peluang merevisi UU 13 tahun 2011 atau mungkin UU 23 tahun 2014 dalam upaya membenahi DTKS ini sempat mengemuka dalam rapat pemerintah dengan Komisi VIII DPR RI pada 1 Juli 2020 lalu.

Menteri Sosial RI, Juliari Batubara mengatakan di hadapan anggota dewan bahwa pengerjaan data kemiskinan terikat dengan UU 13/2011 dan UU 23/2014. "Lalu apabila (ada bagian, red) UU ini dianggap terlalu menghambat percepatan data, mari kita rubah/revisi,".

Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto pada Rabu (16/7/2020) mengatakan, ada harapan agar DTKS ke depan, "bukan hanya sekedar data, tapi situasi rumahnya, kondosi ekonominya dan pendapatannya,".

Menurut Yandri, dimungkinkan DTKS mendatang memuat data kemampuan finasial seseorang, misalnya Pusdatin Kemensos bekerjasama dengan Perbankan agar tersaji data yang lengkap.***