MEDAN - Pelaku usaha tambak di kawasan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai resah. Pasalnya, lahan yang dikelola bertahun-tahun, tiba-tiba dinyatakan masuk kawasan hutan lindung. Sehingga akhirnya ‘dipanggil’ pihak kepolisian Resor Serdang Bedagai. Salah satunya, Ricky yang mengaku mendapat surat permintaan keterangan dari Polres Serdang Bedagai. Dalam surat yang ditandatangani AKP Pandu Winata selaku penyidik Kasat Reskrim Polres Serdang Bedagai, lokasi usaha yang dikelolanya diduga menggunakan hutan secara tidak sah dan merupakan tindakan pisana sebagaimana diatur dalam UU No 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan pengrusakan hutan dan UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal sejak memulai usaha, sudah melengkapi semua persyaratan perijinan yang ditentukan pemerintah.

“Peta hutan di Sumut itu, dimulai dari hutan register 40 yang dibuatkan oleh Belanda, kemudian tahun 1982 keluarlah peta TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan). Disaat itulah tambak-tambak di Sergei dibangun, tahun 1980an," ujar Ricky saat menyampaikan keresahannya kepada Forda UKM Sumut, Kamis (16/7/2020).

Termasuk tambak yang dikelolanya mulai tahun 1988, berdasarkan peta TGHK tahun 1982. Jadi sebenarnya, di kawasan ini tidak ada yang namanya hutan lindung atau hutan produksi.

"Jika pun ditanya sama orang-orang tua di sana, tidak ada namanya hutan lindung atau hutan produksi,” jelasnya.

Pada tahun 2014, sambungnya, keluar peta SK Menhut 579, sebelumnya ada keluar peta SK 44 tahun 2004. “Itu dibatalkan MA tahun 2013. Peta SK 44 ini sama, hanya saja ganti nomor saja menjadi SK 579. Jadi siapa yang membatalkan, pengusaha sawit yang sudah almarhum. Jadi sawit itu yang diputihkan, sekarang berpindah. Hutan lindung sebagian dipindahkan ke Pantai Cermin, yang dulunya hutan lindung di daerah lain dipindahkan ke Sergei. Jadi 2014, kita nggak tahu,” tuturnya.

Selanjutnya, di tahun 2019, keluar lagi SK 8088. Disini, pihaknya baru mendapat surat yang dikeluarkan UPT Dinas Kehutanan, menyatakan yang dikelola sebagai tempat usaha selama ini disebutkan masuk area hutan. Surat tersebut juga berisi list nama-nama. Sehingga akhirnya banyak pelaku usaha yang dipanggil pihak kepolisian.

“Jadi kami tidak tahu ini hutan sampai 2019. Jadi ini istilahnya, hutan merambah desa, hutan rambah tambak. Bukan tambak merambah hutan. Inilah yang terjadi pada kami,” keluhnya, sehingga upaya untuk memperpanjang ijin yang sebelumnya dikeluarkan Dinas Perikanan setempat, di tahun 2019, tidak bisa lagi dengan alasan masuk kawasan hutan.

“Jadi kami terkatung-katung, satu sisi kami sebagai pengusaha mempunyai NPWP, surat NIB, tetapi kami telah membayar pajak, namun tidak bisa mengurus perijinan yang berlaku, dengan alasan, masuk kawasan hutan. Jadi seperti inilah yang terjadi, kami merasa menjadi bulan-bulanan, dipanggil polres. Jadi menganggu kenyamanan kita sebagai pengusaha,” bebernya.

Sektor yang dikelolanya ini, sebutnya, juga mendukung program pemerintah untuk ketahanan pangan. Karenanya, Ricky sangat menyayangkan tindakan yang membuat pelaku usaha tidak nyaman. Padahal, Presiden Jokowi sudah mengemukakan, untuk memberikan kelonggaran selama new normal ini.

"Dan kita harusnya dibina bukan dibinasakan, dipanggil-panggil terus,” ungkapnya sembari mengaku sudah melaporkan persoalan ini ke Menko Maritim, Menteri Perikanan dan Kelautan.

Dia pun mengaku bingung bagaimana seharusnya bertindak. “Kalau masuk hutan, apa yang kita lakukan, dikatakan dikembalikan ke masyarakat. Kami ini warga masyarakat setempat, bukan warga lain. Anak saya, KTP di situ, jadi mau ke warga yang mana mau dikembalikan,” tukasnya.

“Kalau katanya dikembalikan ke masyarakat, buat koperasi, ijin, jadi kita bingung sendiri. Dulu, di peta TGHK, kok sekarang jadi hutan. Kemudian ada kesempatan pemerintah meminta kita, bisa memproses ini melalui TORA (Tanah Objek Reformasi Agraria),” cetusnya.

Jika pelaku usaha tidak nyaman dan dipanggil-panggil seperti ini, dia khawatir, tidak ada orang yang mau investasi di Indonesia.

“Kami ini UMKM, membayar pajak, bayar PPB (Penyuluh Perikanan Bantu) tepat waktu, sampai 2019 memberikan retribusi. Berbagi sembako, tapi kenyamanan berusaha tidak diperhatikan dalam hal ini pemerintah,” tandasnya.

Jika semua dibilang masuk kawasan hutan, tambak ini mau kemana. Sebab tambak memang harus berada di daerah pesisir. Tidak mungkin berada di tanah darat atau Danau Toba.

“Jika sudah pernah ijin usaha didapatkan, mohonlah kami dilepaskan dari wilayah hutan,” harapnya.

Selama ini sebutnya, sudah punya Ijin lokasi, usaha, lingkungan, komersial operasioal. NIB dari OSS, bayar PPB tiap tahun, izin usaha perikanan tahun 2018 yang terkhir dibuat sampai berakhir November 2019.

"Kita pelaku usaha ini, mencari nafkah dengan keringat. Kegagalan udang, penyakit dan lainnya, itu biasa. Tapi kalau dipanggil-panggil seperti ini, tidak nyaman,” pungkasnya.

Sementara itu, Kapolres Serdang Bedagai, AKBP Robin Simatupang yang dikonfirmasi terkait surat permintaan keterangan yang diterima pelaku usaha tersebut mengatakan pihaknya banyak menerima pengaduan masyarakat maupun pemerhati lingkungan termasuk kelompok nelayan yang keberatan dengan banyaknya pengrusakan kawasan mangrove yang menjadi sumber perkembangan biota laut, sehingga para nelayan susah mendapatkan ikan.

"Maka dari komplain masyarakat tersebut, Polri melakukan penyelidikan di sekitar pesisir pantai dan ternyata hasil lidik beberapa tempat melakukan usahanya justru merusak hutan mangrove dan tidak memiliki ijin yang sah dari Intansi terkait seperti ijin pemanfaatan hutan mangrove dari Departemen Kehutanan, ijin lingkungan hidup, ijin dari dinas perikanan dan banyak yang tidak memberi kontribusi ke Pemkab Sergai dan terkesan mereka kebal hukum dan tidak mau memperbaiki atau mengurus perijinan yang diharuskan," bebernya.

"Nah kita akan membantu Pemkab untuk dapat membina para pelaku usaha mempermudah pengurusan ijinnya dan juga meminta para pelaku usaha juga harus taat terhadap aturan yang telah ada, sehingga perekonomian di Sergai akan cepat berkembang," ujarnya.

AKBP Robin juga sependapat bahwa usaha yang dikelola pengusaha tersebut merupakan salah satu capaian mewujudkan ketahanan pangan.

"Ya benar boss, kami sekarang juga menggalakkan ketahanan pangan di Kabupaten Sergai. Kemarin kita buat Desa Bingkat menjadi Desa terunggul untuk ketahanan pangan budidaya ikan air tawar dan pertanian, peternakan dan home industri kerajinan tangan, termasuk Desa Bengkel kita galakkan untuk budidaya ikan air tawar seperti patin," terangnya.

Menurut Kapolres, jika dilihat dari alas hak, seharusnya kawasan itu tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau pribadi, itu diberikan negara untuk kepentingan masyarakat terkhusus masyarakat sekitarnya dapat memanfaatkan tanpa mengubah fungsinya.

"Kemudian petambak paling mempekerjakan 10 sampai dengan 15 KK untuk puluhan maupun ratusan hektar, dibanding dengan masyarakat yang ribuan bisa kehilangan mata pencarian, sehingga suatu saat jika pengrusakan ini tidak dicegah akan menjadi krisis sosial, karena tidak seimbang maka akan mengancam kamtibmas," tandasnya.