MEDAN-Hujan deras di Medan ketika saya sampai di rumah pasangan Rein (44) dan Nr (35), suami isteri yang selama 11 tahun berjuang hidup sehat, diantara ancaman virus HIV. Sejak 2009 Rein dinyatakan positif HIV dan menjalani terapi ARV. Ia bersyukur karena hingga kini, sang isteri, Nr, tidak tertular HIV. Nr dan anak mereka, Kev (11 bulan), negatif.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Perjalanan hidup Rein muda yang baru kehilangan ayah pada tahun 1994 karena meninggal dunia, seolah hilang arah. Karena tak punya biaya untuk kuliah, bersama temannya, ia akhirnya mencoba peruntungan ke Pekanbaru. Ia bekerja menjadi penjaga di arena billiard. Hanya dua bulan bertahan, ia kemudian mengalami masalah dan pergi merantau ke Jakarta.

Berbekal uang Rp50 ribu dan pakaian yang melekat di badan, Rein tiba di Jakarta pada tahun 1995. Ia menuju Pulau Gadung dan Blok M. “Di perjalanan pada waktu itu pas-pasan, sampai di Pulau Gadung gak tau mau ngapain, uang tinggal Rp10 ribu. Saya teringat kawan waktu SMA pernah cerita bahwa kumpulan orang Batak itu banyaknya di blok M, makanya saya ke Blok M. Saya pergi ke taman dan mendengarkan orang-orang disana bercerita untuk dapat orang yang berdialek Batak. Ternyata ada seorang pedagang asongan teh, marganya Simangunsong, saya kenalan dan kemudian mulai jualan asongan minuman juga” kisah Rein.

Dua tahun Rein berjualan asongan, kemudian ia bertukar profesi menjual jasa penukaran uang pecahan. Tidak lama ia bekerja sama kerabat sebagai operator fotokopi dengan gaji Rp500ribu perbulan. “Jarak tempuh yang lumayan antara tempat tinggal di Jati Mulia dan tempat kerja, gaji habis untuk ongkos,” kata Rein. Hanya enam bulan bekerja, ia kemudian kembali ke dunia pasar. Rein mulai berkenalan dengan bandar judi dan menjadi orang kepercayaan ketika bisnis judi semakin pesat. Ia dipercaya mengembangkan cabang ke Palembang, dan hidupnya mulai berkecukupan.

“Pada saat itu pakaian aku branded, sepatu branded, udah pakai perhiasan (kalung dan cincin emas). Saat itu belum punya pasangan,” ungkap Rein.

Saat ia mulai mempunyai banyak uang, mulailah Rein berkenalan dengan dunia malam dan seks bebas. Di sinilah Rein mengira, virus HIV sudah mulai menulari dirinya dan berinkubasi. Hanya saja ia tidak menyadarinya waktu itu.

Rein tidak lama di Palembang. Selanjutnya dia mengalami masalah hingga kemudian kembali ke Medan. Rein bekerja serabutan. Hingga kemudian ia bertemu dengan perempuan yang kemudian menjadi isterinya, saat ia menjadi supir mobil box di salah satu pabrik.

“Pada saat antar barang ke swalayan di daerah Kayu Besar, disitulah aku ketemu istriku, dia kerja disitu. Dia pacar pertamaku, kenalan sama dia tetap kerja seperti biasa lalu punya planning dengannya untuk serius, gak sampai setahun kami nikah,” ucapnya.

Melindungi Istri dan Anak dari HIV

Rein dan Nr akhirnya menikah. Saat usia pernikahan berjalan tiga bulan, Rein jatuh sakit. Hasil diagnosa dokter, dia menderita TB Kelenjar yang merupakan bagian dari infeksi opurtunistik (IO) HIV/Aids yang telah menjangkitinya. Pemeriksaan HIV/Aids-nya dilakukan tanpa sang istri. Rein ditemani ibunya ketika menerima status sebagai ODHA. Ia sangat terguncang.

“Kalau ada gedung tinggi saat itu, aku langsung lompat, Cuma karena rumah sakit itu gak ada tingkatnya, ya liat rumput aja lah,” ujarnya.

Mau tidak mau, Rein pun harus berterus terang kepada isterinya tentang kondisinya. Nr yang baru menerima kabar kondisi Rein bagai disambar petir. Ia diam dan bingung tidak bisa menjawab. Tiga bulan setelah itu Nr baru dapat menerima kondisi Rein. Namun mereka masih mendapat tantangan dari keluarga Nr yang tidak ingin Nr menghabiskan hidupnya bersama suaminya yang ODHA.

Keluarga hendak membawa Nr ke Batam. Namun cintanya membuat ia kembali menjumpai Rein. “Saya bilang ke isteri, kalau dia mau tinggalkan saya, gak apa lah, karena saya berpikir akan segera mati,” tutur Rein yang saat itu kehilangan berat badan dari 65kg menjadi 45kg.

Kondisi Rein yang terus menurun membuat ia juga khawatir jika perusahaan tempat dia bekerja mengetahui bahwa ia menderita HIV/Aids. Ia pun memutuskan berhenti bekerja. Rein lalu bergabung menjadi Pendamping Sebaya di Medan Plus, sebuah lembaga pendamping ODHA di Medan, selama beberapa tahun.

Untuk melindungi istrinya dari penularan HIV, Rein sangat protektif. Sejak tahu dirinya positif, Rein meminta Nr untuk rutin memeriksa kesehatannya dan memastikan virus tersebut tidak menularinya dengan kurun waktu tiga bulan sekali. Ia bersyukur karena Nr selalu dinyatakan negatif dalam pengecekan HIV/Aids hingga saat ini. Ia bertekad melindungi Nr agar tidak tertular virus darinya.

“Mulai dari situ aku pakai pengaman (kondom) saat berhubungan dengan istriku, tapi saat itu berpikir untuk punya keturunan belum ada. Aku lakukan pemulihan selama setahun, dan memeriksa CD4 dan melakukan tes PCR untuk memastikan perkembangan virus di tubuhku. Setelah setahun melakukan terapi ARV, dari hasil tesku, dokter bilang virusku sudah tidak terdeteksi lagi sampai sekarang,” jelas Rein.

Saat Rein mengetahui virusnya tak terdeteksi, ia pun berkonsultasi kepada dokter agar dapat memilki anak yang tidak akan mendapatkan penularan HIV darinya. Ia dan isterinya lalu melakukan program anak dengan sistem Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), dan ternyata berhasil. Saat ini mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki, Kev, yang berusia 11 bulan dan berstatus negatif HIV.

Selama 11 tahun hidup dalam kondisi ODHA, Rein mengeluhkan soal biaya yang harus dikeluarkan ketika ODHA ingin melakukan pengecekan darah ketika akan melakukan terapi obat. Pria ini berharap pemerintah dapat memperhatikan para ODHA yang kesulitan mendapatkan pelayanan pengecekan darah karena ketidakmampuan ekonomi.

“Setiap rumah sakit, untuk penanganan ODHA ini alangkah baiknya diperingan kalau bisa digratiskan, untuk pemeriksaan darah kalau gak ada BPJS. Kalau bisa gratis tapi kalau gak bisa ya ada lah potongan diskonnya, contoh pemeriksaan darah lengkap Rp550ribu. Kalau cek positif negatif HIV gratis, yang bayar ini cek darah trombosit dan lainnya. Untuk menyesuaikan jenis obat di darahnya bisa diterima gak,” ucap Rein.

“Dosa bisa diampuni dengan pertobatan, ODHA itu jangan ditakuti karena mempunyai hak hidup yang sama dan tak bisa dihalangi. Yang penting seorang ODHA itu harus di motivasi dan didukung jangan ditinggalkan dibuang dan dianggap sampah, itu dosa yang paling besar karena dosa itu akan ditanggung sendiri, saya ODHA yang masih sampai saat ini bertahan saya jalani hidup, ini adalah pertobatan masa lalu saya, ”tutupnya.