MEDAN - Sekitar ratusan peserta terdiri dari pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil, berkumpul dan melaksanakan lokakarya koalisi untuk kehidupan sejahtera yang berkelanjutan, Rabu (30/10/2019) pagi tadi, di Santika Dyandra Hotel Medan. Lokakarya yang berlangsung selama dua hari ini membahas pengembangan ekonomi dan manajemen sumberdaya alam di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh. Lokakarya ini merupakan inisiatif dari Koalisi untuk Kesejahteraan Berkelanjutan, sekelompok organisasi masyarakat, dan sector swasta yang bekerjasama untuk memajukan pembangunan berkelanjutan di kawasan ini.

"Yang mau dicapai (dalam pertemuan ini yakni) membangun ide mencari solusi untuk meningkatkan kapasitas peningkatan konservasi alam dan sekaligus memberikan ide ide tentang peningkatan livelihoods kesejahteraan masyarakat, khususnya untuk petani," ujar Vice President, Conservation International, Ketut Sarjana Putra di sela-sela lokakarya mengenai Konservasi, Restorasi, Produksi Berkelanjutan, dan Investasi.

Coalition for sustainable livelihoods (CSL) ini, sambungnya, membangun sebuah platform, karena di masing-masing sektor, apakah pertanian sawit, karet, coklat dan yang lain, semua indstri ingin diajak gabung untuk melihat tantangan besar di seluruh landscape Sumut dan Aceh.

"Kalau hutannya harus dikonservasi, misalnya minimum 35 persen, itu bagaimana strateginya, kontribusinya untuk konservasi ini," terangnya.

Dirinya berharap, misalnya, tantangan yang dihadapi mereka dari konservasi lahan, encroachment, yang sering dilihat dan diinformasikan bahwa masyarakat sering istilahnya menjadi korban, masyarakat melakukan encroachment, padahal pada realitinya, jangan-jangan masyarakat tidak punya opsi.

Maka dari itu, Ketut harapkan bagaimana teman-teman di sini bisa membantu masyarakat.

Selain itu, Ketut melihat berbagai perusahaan sering menganalisis dan membuat solusi sendiri-sendiri. Tapi tidak melihat secara keseluruhan permasalahan yang ada.

"Di paltform inilah nantinya muncul, oh untuk mencapai sustainable itu tidak hanya satu produksi yang mau dikejar, tapi legal settingnya, kemudian kontribusinya untuk capacity dan investasi juga," jelasnya.

Ketut juga melihat seringnya, mereka ingin sekali membangun industri yang baik, konservasi yang baik, tapi sering investor belum ada.

"Kita berharap bahwa, kalau muncul sebuah platform yang isinya green investment untuk Sumut dan Aceh ke depan, kita ingin setiap investor yang green itu difilter masuk ke sini untuk kontribusi berinvestasi. Itu harapan ke depan," tutupnya.

Di sisi lain, Direktur Senior Terestrial di Conservation International Indonesia, Nassat Idris mengemukakan, Provinsi Sumatera Utara dan Aceh adalah daerah produksi kritis untuk komoditas utama seperti minyak kelapa sawit, coklat, kopi, karet, dan kayu - tanaman yang sangat penting bagi perekonomian lokal dan mata pencaharian jutaan petani kecil.

"Wilayah ini juga menampung sumberdaya alam yang luas, termasuk hutan yang menjadi andalan masyarakat untuk air tawar, stabilitas iklim, dan pengurangan risiko banjir dan tanah longsor yang dalam beberapa kasus, dipicu oleh deforestasi. Sementara perusahaan-perusahaan di kawasan ini telah melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan keberlanjutan, upaya ini tidak mencapai dampak yang dibutuhkan,” jelas Nassat Idris.

Nassat juga mengakui, rata-rata produktivitas kelapa sawit oleh produsen kecil di Sumatera Utara dan Aceh adalah 35% di bawah tingkat hasil yang dicapai perkebunan perusahaan di provinsi yang sama.

"Oleh karena itu, meningkatkan produktivitas petani kecil di kawasan ini merupakan strategi utama dalam mewujudkan produksi berkelanjutan - dan tema utama dari lokakarya ini," harapnya.

Sementara itu, Director of Sustainability Musim Mas Olivier Tichit, menerangkan, Musim Mas saat ini sudah menggunakan standart RSPO 2018. Di mana, standart ini sangat fokus dideforestasi, standart ini nol deforestasi. Dari sisi kesejahteraan masyarakat dan pekerja, permintaannya lebih tinggi sedikit.

Olivier mengaku, pihaknya sudah lama melakukan pembinaan terhadap petani swadaya khususnya di Labuhanbatu. Di mana, pihaknya mendukung kerjasama dengan pemerintah setempat dan kelompok tani agar semua anggota punya surat tanah, meningkatkan kerja mereka budidaya sawit, dan mereka bisa menerapkan standart RSPO yang berlaku dan bisa lolos sertifikasi.

Olivier juga menerangkan, pihaknya sudah mendukung sebanyak 7.000 petani swadaya Sumut dan Aceh.

"Saya kira sama dengan konsep CSL saya lihat, kita usahakan dan bagaimana kita bisa meningkatkan, kita bisa buat lagi, kita bisa apakah yang lain bisa mengambil pengalaman dari kita, yang penting tujuannya tetap sama kesejahteraan untuk masyarakat tapi juga kita cari dampak lingkungan yang baik," tandasnya.

"Saya lihat kenapa sekarang CSL jg maju dan kita merasa dan sekarang kerjasama dengan pihak swasta, LSM dan yang paling penting pihak pemerintah tambah baik sekarang. Saya lihat, kalau dulu memang semuanya cari dan punya jalan sendiri, tapi sekarang makin lama makin baik, kerjasama antara swasta, pemerintah dan LSM. Terutama buat kita kerjasama dengan petani swadaya, swasta dan pemerintah. Tujuan kita sama, kita mau petani yang lebih profesional dan juga lebih sejahtera," harapnya.

Di tempat yang sama, Wakil Gubernur Sumatera Utara, Musa Rajekshah menjelaskan, bagaimana memanfaatkan hutan menjadi berpenghasilan tanpa harus merusak hutan.

"Di Kementerian Kehutanan saat ini sudah ada program hutan sosial yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi tanpa merusak hutan. Ini yang perlu kita sosialisasikan," tuturnya.

Ijeck juga menyebutkan pentingnya hal ini dimasukkan ke dalam materi pelajaran, bagaimana hidup berdampingan dengan alam, menjaga alam, menjaga flora dan faunanya.

"Karena apapun itu, kita ingin alam ini baik supaya kita sehat dan ekonomi masyarakat tidak terganggu," harapnya lagi.

Julhadi Siregar, Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Kabupaten Tapanuli Selatan mengaku, pertemuan ini memberikan peluang penting bagi orang-orang seperti dia untuk berbicara tentang apa yang terjadi di kampung dan kebun mereka.

"Bantuan yang kita butuhkan dari pemerintah dan perusahaan untuk meningkatkan kehidupan yang lebih layak. Kami mempunyai kebun, tapi kami membutuhkan tanah dan alam untuk menghasilkan produksi yang terbaik,” harapnya.