MEDAN - Produksi minyak kelapa sawit atau CPO di Indonesia diperkirakan akan mengalami kelebihan produksi (oversupply) di tahun 2030. Kondisi inilah yang akan mengancam keberlanjutan industri kelapa sawit Indonesia.

Suplai sawit yang berlebihan dapat membuat harga sawit tidak stabil bahkan menurun dan berujung pada penurunan kesejahteraan petani sawit. Hal inilah yang dianggap perlu segera disadari oleh produsen CPO di Indonesia.

Asisten Deputi Perkebunan dan Hortikultura, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (RI), Dr Wilistra Danny mengatakan, hal ini dilakukan untuk menaikkan kredibilitas Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) menjadi lebih baik. Sehingga sawit Indonesia di pasar menjadi lebih meningkat terutama di pasar Internasional.

“Saat ini ada beberapa hal yang menjadi perubahan dari aturan sekarang yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 tahun 2016 ISPO yang sedang diproses untuk menjadi Peraturan Presiden (Perpres). Saat ini sedang kita proses mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa ditandatangani oleh Presiden,” sebutnya pada media.

Perbaikan dari sistem ini terdapat catatan yakni sistem verifikasi tidak menjadi government riven tetapi dalam peraturan baru ini semua pihak dilibatkan. Mulai dari pemerintah sebagai regulator nya, pengusaha, petani, LSM, para praktisi dan lainnya. Sehingga adanya peraturan ini diharapkan bisa menghilangkan apa selama ini yang ditudingkan pihak luar dengan sistem sertifikasi ISPO kita yang terlalu government riven atau yang terlalu dikendalikan oleh pemerintah.

“Kalau yang berlaku sekarang wajib untuk perusahaan swasta dan negara atau PTPN. Padahal kita punya 3 pelaku usaha sawit yakni perusahaan swasta, perusahaan negeri dan petani. Jadi petani diwajibkan untuk memiliki sertifikasi ISPO,” jelasnya.

Sementara itu, President Direktur PT Mutuagung Lestari, Arifin Lambaga mengatakan, sertifikasi ISPO adalah sertifikasi yang menyatakan bahwa pengelolaan perkebunan dan prose produksi CPO itu telah mengikuti kaidah-kaidah lingkungan yang didasarkan kepada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia.

“Aturan ini ada 3 yakni masalah produksi, sosial dan lingkungan. Jadi tiga aspek itu diatur oleh aturan pemerintah. Kita lembaga sertifikasi mengecek seberapa jauh perusahaan ini menerapkan aturan yang telah diterapkan dari produksi, sosial dan lingkungan. Itu intinya,” beber Arifin.

Namun dalam penerapannya, skema sertifikasi ISPO saat ini masih menemui sejumlah masalah dalam pelaksanaannya terutama yang terkait dengan aspek legalitas. Saat ini, jumlah perusahaan yang telah tersertifikasi masih berjumlah 502 kurang lebih 29,3% atau sekitar 4,1 juta ha dari total luas kebun sawit 14,03 juta ha yang ada di Indonesia.

"Dalam menghadapi masalah ini, skema ISPO kedepannya diharapkan dapat lebih menekankan pada pull factor yaitu mendorong kepastian pasar dan harga yang lebih kompetitif dibandingkan hanya berkutat pada push factor berupa penetapan regulasi dan punishment. Nantinya, skema ini diharapkan akan membentuk sebuah rantai pasok, bukan hanya sebuah kewajiban, namun perusahaan juga membutuhkannya untuk mendapatkan kepastian pasar dan harga yang kompetitif," ujar Arifin.

Menurut Arifin, adanya kepastian pasar dalam skema ini dapat mendorong keterlibatan perusahaan untuk mengikuti skema ISPO.

Saat ini, telah terdapat 502 perusahaan yang telah mengantongi sertifikasi ISPO yang telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga sertifikasi. 35% di antaranya atau total sekitar 167 adalah sertifikasi yang dikeluarkan oleh PT Mutuagung Lestari.

"Jumlah ini diharapkan terus ditingkatkan untuk mendukung sustainable palm oil di Indonesia," ucap Arifin.

Untuk petani sendiri, Arifin menuturkan masih sedikit yang memiliki sertifikasi ini hanya sekitar 4 sampai 5 saja di Sumut ini. “Kendalanya lantaran ada di legalitas lahan karena saat ini petani belum memiliki kepemilikan yang bersifat legal. Jadi mau memiliki sertifikasi ini harus adanya lahan yang legal,” pungkasnya. (*)