JAKARTA - Pakar Komunikasi Politik yang juga inisiator Pemilu Serentak, Effendi Gazali mengungkapkan, dirinya pernah menolak jika Pemilu Serentak berlangsung dengan syarat Presidential Threshold 20%. "Sebetulnya Oktober itu, di seluruh media kita bisa dengar bahwa ketika keluar hasil Undang-Undang Pemilu oleh DPR dan Pemerintah, kita sudah bilang 'itu jangan dilakukan serentak seperti itu'" kata Effendi kepada Wartawan, Senin (13/05/2019).

Meski begitu, Ia tak menampik jika dirinya pernah turut mengajukan gugagatan ke Mahkamah Konstitusi soal Pemilu pada 2013, silam. Kata Effendi, "bahwa saya pernah mengajukan ke mahkamah konstitusi, iya itu fakta,".

Komentar Effendi ini sebagai klarifikasi dari desakan yang muncul agar dirinya turut bertanggungjawab pasca jatuhnya korban massal baik korban tewas maupun sakit, dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019.

"Bahkan Buya Syafi'i Ma'arif juga kan mengatakan 'ini juga harusnya yang pernah mengatakan (mendukung Pemilu Serentak, red), menyabut mencabut ucapannya," ujar Effendi mencoba mengulang pernyataan Syafi'i Ma'arif.

Effendi mengaku dirinya pun berempati atas jatuhnya ratusan korban dalam gelaran Pemilu Serentak 2019 dan harus ada penanganan serius soal itu. Dan yang tak kalah penting untuk diungkap, menurut Effendi adalah, pensyaratan threshold 20% untuk Pemilihan Presiden dalam UU Pemilu itu.

"Harusnya ini manggil kami (dan bertanya, red) 'Anda mengajukan Pemilu serentak, kok sekarang jadi malah minta itu ditarik lagi?'" ujar Effendi.

Ia menambahkan, "karena (pandangan kami, red) Pemilu serentak itu presidential threshold-nya harus 0%. Kenapa? Ini, kami itu memikirkannya sejak 6 tahun yang lalu, 2013,".

Dalam analisa komunikas politik, kata Effendi, ketika Pemilu serentak itu dilakukan dengan adanya presidential threshold 20%, kalau dibagi 100% / 20% akan bisa muncul 5 pasang (Capres-Cawapres). "Padahal kita sudah tahu, nanti itu akan dibuat hanya 2 (paslon) saja. Dan terbukti kan, di 2014 dan 2019 lagi, kalau ini (jadinya hanya, red) 2 pasang (Capres-Cawapres),".

Ia menegaskan, "ini seakan-akan membiarkan bangsa terbelah dan diumpankan ke mulut menganga dan perusak. Ada kan yang namanya media sosial,".***