JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah menilai, isi 'Serangan Fajar' merupakan hal yang selalu berulang-ulang di setiap momen menjelang pemilihan umum (pemilu). Hal tersebut kata Fahri, sudah menjadi hal yang mendatangkan frustrasi bagi setiap calon baik Pilpres maupun Pileg.

"Isu ini, harus diperjelas atau dituntaskan oleh kandidat presiden dan wakil presiden. Harusnya para calon ini bicara yang agak keras tentang ini," ungkap Fahri Hamzah dalam program talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (2/4/2019) malam, yang mengangkat tema "Kejutan OTT KPK: Ratusan Ribu Amplop untuk Serangan Fajar?".

Fahri juga menyebutkan seorang pejabat di kementerian yang tengah melakukan silaturahmi, kemudian menyerahkan uang, dan bahkan disaksikan oleh banyak orang.

"Tindakan pejabat itu bukan suatu tindakan yang terpuji. Betapa tidak luhurnya kita," sesal inisitor Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu, seraya menilai kalau saat ini banyak pejabat publik memiliki cita rasa atau moral yang rendah.

Anggota DPR RI dari dapil Nusa Tenggara Barat (NTB) itu menilai terdapat dua masalah dalam peristiwa ini yakni money politic dan korupsi politik. Kedua masalah tersebut menjadi kegagalan sistem yang saat ini terjadi.

"Saya menganggap kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) seperti yang dialami politisi Golkar, Bowo Sidik Pangarso merupakan hal-hal yang sudah biasa terjadi. Apalagi terjadi menjelang pemilu," katanya.

Fahri pun menceritakan bagaimana rendahnya 'harga' anggota Dewan bagi pengusaha di daerah. Kala itu Fahri pernah duduk bersama dalam sebuah acara dan anggota dewan hanya 'dihargai' Rp 2,5 juta.

Di suatu daerah kami duduk dengan asosiasi kopi. Ketuanya berpidato terus membagikan uang Rp 2,5 juta ke anggota DPR. Saya marah, begitu rendah sekali cita rasa menghargai demokrasi, dengan gampang memberikan uang," tutur dia yang mengaku pada kasus serupa, sempat beradu argumen panjang dengan anggota DPR lain.

Namun, Fahri menegaskan jika seorang anggota DPR wajib mengetahui cara keluar dari masalah tersebut.

Sebelumnya diberitakan di GoNews.co, KPK menemukan "Cap Jempol" pada amplop yang diduga akan digunakan untuk "serangan fajar" dalam kasus dugaan suap yang mentersangkakan Anggota DPR fraksi Golkar, Bowo Sidik Pangarso.

Dugaan suap ini terkait dengan bantuan kepada PT HTK (Humpuss Transportasi Kimia) agar kembali mendapat perjanjian penggunaan kapal-kapalnya untuk distribusi pupuk dari PT Pupuk Indonesia Logistik (Pilog).

Adapun amplop bertanda "Cap Jempol" merupakan bagian dari bukti yang disita KPK dari dua lokasi berupa uang tunai sebesar Rp 89,4 juta serta Rp 8 miliar yang disimpan dalam 84 kardus.

"Sekitar Rp 8 miliar dalam pecahan Rp 20.000 dan Rp 50.000 yang telah dimasukkan dalam amplop-amplop pada 84 kardus," ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam jumpa pers KPK, Kamis (28/03/2019).

Menurut Juru Bicara KPK, Febridiansyah, komisi anti rasuah menduga, uang dalam amplop-amplop tersebut akan digunakan untuk kepentingan "serangan fajar".

"Dari bukti-bukti, dari fakta-fakta hukumnya yang ditemukan sejauh ini yang bisa dikonfirmasi dan kami temukan fakta hukumnya amplop tersebut diduga akan digunakan pada serangan fajar pada proses pemilu legislatif pada pencalegan BSP (Bowo Sidik)," kata Febri, Selasa (02/04/2019).

Partai Golkar, tercatat sebagai pengusung Paslon Capres-Cawapres Jokowi-Maruf Amin dalam kontestasi Pilpres 2019. Namun KPK menepis jika asumsi publik soal "serangan fajar" meluas ke arah sana.

"Tapi fakta hukumnya seperti yang saya jelaskan tadi, kami perlu tegaskan ini karena kita hanya bisa berpijak pada fakta hukum yang ada. Jadi KPK perlu meng-clear-kan ini kepada publik dari perkembangan proses pengecekan barang bukti yang dilakukan itulah fakta hukum yang ditemukan," kata Febri.

Mengingat teori yang dikemukakan Pakar Komunikasi Universitas Negeri San Diego, Larry A. Samovar bahwa simbol baik verbal maupun non verbal dalam komunikasi manusia adalah sebuah ekspresi yang merujuk atau merepresentasikan sesuatu yang lain.***