MEDAN - Kisah diskriminsasi anak-anak pengidap AIDS di Samosir telah menyentuh seluruh kalangan. Di mana, pemerintah setempat membuat kebijakan memberhentikan 3 anak dari sekolahnya dan direncanakan akan diusir dari desanya karena terpapar HIV/AIDS dari kedua orangtuanya.

Kesewenang-wenangan pemerintah hingga diskriminasi yang dialami ketiga bocah ini sempat mendapat perhatian pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI hingga Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait.

Kisah yang dialami bocah HIV/AIDS ini pun diangkat menjadi sebuah cerita dalam bentuk novel yang segera dilaunching Dr.dr.Umar Zein, DTM&H, Sp.PD, KPTI dalam waktu dekat ini di Balige pada 29 Maret 2019.

"Novel ini sengaja saya tuliskan untuk membuka mata semua orang, baik itu masyarakat maupun pemerintah. Walaupun pun program HIV/AIDS ini sudah berlangsung puluhan tahun, tapi penerimaan masyarakat termasuk pemerintah, ini belum tersosilisasi dengan baik. Masih ada kita temukan ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) yang mendapat stigma maupun diskriminasi di masyarakat," ungkap Umar, Kamis (14/3/2019).

Menurut Umar, kisah ini sengaja diangkat menjadi sebuah novel dengan harapan buku ini bisa menjadi sebagai informasi untuk masyarakat bahwa ada hak anak yang tak terpenuhi di Indonesia ini.

"Pesan yang ingin disampaikan dalam novel ini yakni ke depan kasus HIV anak besar kemungkinan akan meningkat. Terlebih pencegahan penularan HIV ke ibu hamil tidak dilakukan secara komprehensif. Begitu juga dengan pencegahan penularan dari ibu hamil ke anak belum maksimal. Ini berdampak pada generasi bangsa yang terinfeksi virus HIV," jelasnya.

Buku ini, sebut Umar, ditulis sebanyak 218 halaman dengan waktu penulisan selama 3 bulan. Di novel ini, Umar juga memberi pemahaman kepada pemerintah dan juga masyarakat mengenai HIV/AIDS dan cara penularannya.

Sementara itu, Kepala Departemen Diakonia, Huria Kristen Batak Protestan, Pdt. Debora Purada Sinaga, MTh, mengapresiasi penulisan novel HIV/AIDS yang digarap dr Umar Zein ini.

Menurut Debora, novel ini sebagai salah satu alat komunikasi yang kelak dapat menjangkau dan bahkan menggugah para pembacanya untuk ikut termotivasi, baik itu masyarakat, tokoh adat, pelaku pendidikan, pelaku kesehatan dan para profesional agar bertekad menghentikan suasana penolakan dan kebisuan (breaking silence) terhadap pengidap HIV/AIDS.

"Mari bersama kita bisa. Tuhan memberkati," timpalnya.